Merenungi Hatta dan Natsir: Refleksi Bagi Pemimpin Pergerakan


Oleh: Ali Wardhana
Alumni KAMMI dan Pegiat Komunitas Borneo Masa Depan

Memperbincangkan masalah moralitas dalam politik barangkali bagi kebanyakan orang adalah sesuatu yang absurd. Sesuatu yang langka atau barangkali mustahil. Pandangan demikian tidaklah salah jika dikaitkan dengan kejadian-kejadian yang kerap menjadi perbincangan di berbagi media. Misalnya, korupsi dan gaya hidup mewah berfoya-foya seakan melekat dikehidupan dunia para politikus.

Namun menilik kehidupan di era awal kemerdekaan, politik bagi beberapa “anak-anak pergerakan” adalah pengabdian, ada juga berpendapat berpolitik merupakan titipan amanat yang mesti dipertanggungjawabkan. Politik bukan semata alat mengejar kekuasaan semata. Namun dari sisi dimensi moral terwujud sebagai sikap maupun perilaku individu. Dua tokoh Moehammad Hatta dan Moehammmad Natsir, sekian dari beberapa pemimpin teladan yang  memberikan keteladanan pada era kepemimpinan mereka. Sosok bersahaja itu mampu membuktikan bahwa  moralitas dan politik dapat berdampingan dan menyatu dalam kepribadian dan sikap politiknya sehari-hari, mereka manusia yang yakin akan pikirannya bahwa

"Pemimpin berarti suri teladan dalam segala perbuatannya...."

Lihat saja bagaimana mudahnya bagi Hatta melepaskan jabatan prestisius sebagai wakil presiden ketika kekuasaan dianggapnya telah jauh menyimpang dari tujuannya. Ia dengan mudah menghapus segala tata rias kuasa didirinya, melepaskan berbagai fasilitas negara, menanggalkan segala kemudahan yang diberikan oleh negara, sebuah jabatan yang saat ini kerap diburu dan dipuja-puja.

Hatta juga memperlihatkan kepada mata dunia bahwa kepemimpinan tak selalu diiringi dengan kemewahan. Hatta membuktikan ia adalah sosok negarawan yang tak mengambil kesempatan dengan kekuasaannya untuk menumpuk harta kekayaan. Semasa hidupnya ia pernah tak mampu membayar tagihan listrik rumahnya hingga Bung Hatta sampai berkirim surat ke Gubernur Ali Sadikin untuk meminta pemotongan tagihan.

Lalu siapa yang tak terharu dengan kisah teladan Hatta dengan sepatu Bally yang ia idam-idamkan, yang hingga akhir hayatnya Hatta tak mampu membelinya. Hatta hanya bisa manyimpan potongan iklan sepatu Bally idamannya didalam dompetnya, penyebabnya uang tabungan sang proklamator selalu tak cukup untuk disisihkan karena ia lebih memilih menghabiskan untuk membiayai keperluan rumah tangganya dan membantu membantu orang-orang kesusahan yang dikenalnya. Padahal dengan kekuasaannya saat itu ia bisa membeli lebih dari sepasang sepatu Bally, tapi tidak dengan Hatta, ia memiliki moralitas yang kuat terhadap model kepemimpinan yang diyakininya.

Tidak berbeda dengan Hatta, sosok Moehammad Natsir tak kalah teladannya, Moehammad Natsir bukan pengusaha, bukan orang kaya. Moehammad Natsir tiga kali menjadi Menteri Penerangan dan sekali menjadi Perdana Menteri, bukan untuk mencari uang atau memperkaya diri. Bahkan George McTurman Kahin, salah seorang Guru besar Universitas Cornell Amerika yang kenal dengan Natsir sempat terheran-heran dengan kesederhanaan seorang Natsir, hingga baju yang dikenakannya saat menjabat sebagai Menteri adalah baju yang penuh dengan tambalan.

Dan yang sungguh luar biasa semasa menjabat sebagai pejabat ia hanya memiliki dua setel kemeja di saat masa jabatannya habis. Natsir meninggalkan kantor kementeriannya pulang menuju rumah dengan mengayuh sepeda berboncengan dengan supirnya. Mobil dinasnya langsung diserahkan saat itu juga kepada negara.

Negara kita sebenarnya surplus keteladanan, tidak hanya dua sosok anak bangsa tersebut, ada sosok-sosok  lain yang keteladanaannya pantas dicatat dengan tinta emas, sebut saja Jenderal Hoegang sang perwira polisi dan Baharuddin Lopa mantan Jaksa Agung yang terkenal dengan integritas dan keteladanannya sebagai pejabat negara.

Mengulas cerita keteladanan dua sosok manusia besar tersebut hanya akan melahirkan dua rasa didalam diri kita, yaitu rasa kagum dan rasa kecewa.

Kagum bahwa bangsa kita pernah memiliki sosok politikus sederhana. Integritas mereka menjadi pandu pandang dan sentrum dari setiap sikap dan kebijakan-kebijakan mereka. Kecewa, karena hari ini sulit rasanya melihat sosok keteladanan mereka pada pemimpin-pemimpin disekitar kita. Kemewahan seakan jadi syarat pertama kepemimpinan mereka.

Tapi semoga mengulas keteladanan sepenggal kisah mereka juga adalah sebuah tuntutan; tuntutan kepada generasi-generasi kita bahkan ada tanggung jawab kita untuk mencontoh sikap-sikap baik mereka dan mengilhami pikiran-pikiran kita.[]