By: Nandang Burhanudin
Di era Jokowi, segala kepalsuan terbuka. Betapa sejak lama, Indonesia diharu biru dua kekuatan besar: Pertama; Nasionalis Islamis. Kedua; Sekularis Komunis. Kekuatan pertama adalah gabungan kekuatan nasionalis yang cinta tanah air Indonesia yang didukung oleh kekuatan-kekuatan Islamiyyun. Sedangkan kekuatan kedua diisi oleh kaum sekuler binaan LB Moerdani, yang didukung oleh gabungan kekuatan komunis, Islam abangan, aliran sesat, dan agen-agen Barat.
Kekuatan pertama, memiliki visi:
1. Kemandirian pangan dengan swasembada.
2. Kemandirian alat utama sistem pertahanan, dengan industri strategis.
3. Kemandirian obat, pupuk, dan energi dengan memaksimalkan potensi alam (SDA) yang berlimpah.
Sedangkan kekuatan kedua, visi dan aksinya 180 derajat kebalikan dari kekuatan pertama. Pangan, alutsista, obat, energi, pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar alias impor. Negara dan rakyat hanya dijadikan alat untuk mengambil ceruk keuntungan. Bagi tipe ini, loyalitas kepada partai jauh lebih utama daripada loyalitas kepada negara (apalagi agama). Sedangkan bagi kekuatan pertama, loyalitas kepada tanah air adalah utama. Karena cinta tanah air bagian dari tuntutan agama (Islam).
Oleh karena itu, dua kekuatan ini beradu. Bisa jadi sebagai awam kita menganggap, dua kubu di DPR adalah lumrah. Kubu KMP yang dikomandoi Prabowo vs Kubu KIH yang dikomandoi Megawati. Namun pada kenyataannya, kedua kubu adalah bagian dari refleksi dua kekuatan. Prabowo kendati bukan Islamis, namun nasionalismenya dipandang sangat membahayakan. Sedangkan kubu Megawati cs, dipandang sebagai alumni pendidikan LB Moerdani yang sangat membenci Indonesia yang "menghijau".
Lalu bagaimana sikap kita? Sebagai muslim ada baiknya kita mengingat pesan Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Ketika beliau ditanya, "Terdapat tokoh-tokoh besar di kelompok anda. Di sana pun ada tokoh-tokoh besar berada di kelompok musuh anda. Dari kedua kelompok ini, dimanakah kebenaran berada?"
Imam Ali berkata,
لاَ تَعْرِفِ الْحَقَّ بِالرِّجَالِ، إعْرِفِ الْحَقَّ تَعْرِفْ أَهْلهُ
“Janganlah engkau menilai kebenaran itu karena orangnya, tetapi kenalilah kebenaran itu, maka engkau akan mengenal (siapa) orang yang mengikuti kembenaran.”
Tugas kita adalah mengenali kebenaran. Caranya mudah. Coba perhatikan sepak terjang Megawati, Luhut Binsar Panjaitan, AM. Hendropriyono, Agung Laksono, Soerya Paloh, Jokowi, Ahok, AM. Saefudin, Muhaimin Iskandar, Jalaludin Rahmat, Sofjan Wanandi, dan lain-lain. Bandingkan dengan Prabowo Subianto, Anis Matta, Fadli Zon, Abu Rizal Bakri, Hatta Rajasa.
Kita tetap mengkritisi kasus-kasus dan pelanggaran yang dilakukan kubu KMP. Namun kita akan terkaget-kaget dan tak mampu melakukan apapun terhadap pelanggaran konstitusional dan pelelangan asset negara yang dilakukan kubu Megawati. Sayangnya kita mudah dilupakan pencitraan, blusukan yang membusukkan!