Beliau bukan seorang pejabat. Bukan pula bos perusahaan besar. Beliau “hanya” seorang ibu rumah tangga, lulusan IAIN Sunan Kalijaga, Jogja. Mengasuh tujuh anak adalah tugas utamanya, selain mendampingi Dr H Maryanto, dosen Fakultas Teknologi Pertanian (FTP) Universitas Jember, di Jatim.
Meski menjadi kakak ipar Dr Hidayat Nurwahid, wakil Ketua MPR, beliau sosok yang sangat sederhana dan bersahaja. Saya biasa memanggil Bu Maryanto. Sedangkan tiga anak saya biasa menyapa perempuan bernama Hj Eko Rinianti itu dengan sebutan Bude.
Bagi anak-anak saya, beliau memang sudah seperti Bude. Karena itu, anak-anak saya biasa memanggil suami beliau dengan sapaan Pakde. Sedangkan bagi saya dan istri, beliau adalah sosok ibu kedua, setelah ibu kandung, bagi kami.
Sekitar pukul 10.00, Rabu (27/5), kabar mengejutkan itu saya terima dari grup WhatsApp “Ibnu Katsir Power Full”. Itu adalah grup tempat komunikasi kami, para pengurus Ma’had Tahfizh Quran (MTW) Ibnu Katsir, Jember. “Innalillahi... Bu Hj Maryanto meninggal dunia.”
Setengah tidak percaya, saya langsung menghubungi Ust Taufik, manajer fund rising Ibnu Katsir, sumber pertama yang mengabarkan informasi itu. Ternyata kabar itu benar adanya, karena berasal dari menantunya. “Innalillahi wainna ilaihi roojiun...” gumam saya.
Saya langsung menelepon istri saya yang sedang mengisi taklim di sebuah perumahan. “Mi, Bu Maryanto meninggal dunia pagi ini,” kata saya. Suara istri saya langsung serak, saat melafalkan zikir...
* * *
Sulit bagi saya untuk menulis kepribadian beliau dari mana. Top of mind saya tentang beliau adalah suka menolong. Mengalirnya para pelayat dari sejak sebelum datangnya jenazah beliau sampai sesudah pemakamannya adalah bukti betapa jejak kebaikannya selama ini berserak dimana-mana.
Untuk soal ini, saya adalah saksinya. Rumah saya persis berseberangan jalan dengan rumah beliau. Di komplek perumahan, beliau adalah ketua majelis taklim. Beliau pula yang menginisiasi program tabungan kurban, sehingga dari tahun ke tahun jumlah hewan kurban di komplek perumahan kami bertambah. “Setelah beliau tiada, entah siapa yang akan meneruskan program yang telah dirintisnya ini,” kata Pak Jayus, ketua RW di perumahan kami, saat memberikan sambutan dalam pelepasan jenazah.
Para tetangga adalah orang-orang yang pernah merasakan tangannya yang penuh kasih. “Saat istri saya pendarahan karena keguguran saat tengah malam, beliaulah yang mengantar istri saya dengan mobil. Sementara, saya harus menunggu anak saya balita yang sedang tidur di rumah. Sampai istri saya dikuret, beliau pula yang menungguinya,” ujar seorang tetangga yang tinggal di samping rumah saya.
Jangan tanya lagi soal jumlah majelis taklim yang dibinanya. Tersebar dari perumahan, perkampungan, perkantoran, kampus, dharma wanita, sampai penjara. Materi tentang pembinaan keluarga dan fikih muslimah merupakan dua materi yang paling banyak diidolakan oleh para ibu dan mahasiswi.
Dan sejak 2010, beliau adalah pejuang Al Quran. Lima tahun silam, beliau salah seorang penggalang dana wakaf tunai untuk pembebasan tanah MTQ Ibnu Katsir di Rembangan. Setelah penerimaan santri, beliau lagi-lagi menjadi penggalang donasi untuk para santri. Maklum, MTQ Ibnu Katsir yang berlokasi di Jl Mangga 18 Jember adalah pesantren tahfizh full beasiswa S1 dan 2 tahun hafal 30 juz Al Quran.
“Di kampus, beliau sangat semangat menggalang beasiswa untuk penghafal Al Quran,” demikian kesaksian Dekan FTP Unej Dr Yuli Witono. Kecintaannya pada penghafal Al Quran tidak kalah dengan cintanya pada tujuh anak kandungnya. Tiap Ramadhan beliau kerap menginisiasi buka bersama dengan para hafizh Quran.
Setelah 2014 MTQ Ibnu Katsir menerima santriwati, beliau menjadi salah seorang pengurus. Ketika ma’had membangun musala dan asrama, lagi-lagi beliau menjadi salah seorang yang terdepan dalam menggalang wakaf tunai.
* * *
Beliau adalah ibu terbaik bagi anak-anaknya. Tidak pernah ada caci maki dari lisan beliau pada anak-anaknya. Beliau juga menjadi suami terbaik bagi suaminya. Medio 2007, suami beliau diangkat menjadi Atase Pertanian di Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Amerika Serikat.
Pada 2008, sang suami terkena serangan stroke. Beliau pula yang merawat sang suami dengan penuh kesabaran. Sepulang dari tugas di Amerika, beliau pula yang harus wira-wiri mengantar suami mengajar di kampus dan terapi di rumah sakit.
Saya menyebutnya sebagai Super Mom. Beliau sangat care dengan anak-anaknya yang mondok di Gontor maupun SMPIT Darul Fikri, Sidoarjo. Hampir setiap bulan sekali beliau menjenguk si bungsu yang tengah sekolah SMP dan menghafal Al Quran. Setiap anak-ananknya pulang dari pondok, beliau pasti memasak masakan yang paling disukai anak-anaknya. Saat akan kembali ke pondok, semua bekal disiapkan beliau untuk anak-anaknya.
Sampai kemudian sakit itu menderanya, pertengahan 2014 lalu. Awalnya, beliau menganggap gondong. Menjelang akhir Oktober 2014, saat salat Subuh baru tertunaikan, istri saya memberi tahu saya bahwa kondisi beliau ngedrop. Bergegas saya menuju rumahnya yang hanya selemparan batu dari teras rumah saya.
Saya keluarkan mobilnya, lalu didampingi suami dan menantunya, saya antar beliau ke rumah sakit. Seorang dokter lalu membisiki saya, “Beliau menderita kanker kelenjar getah bening.” Ya Allah...
Sejak saat itu, beliau sering keluar masuk rumah sakit. Untuk sementara, tugas-tugasnya di ma’had di-handle istri saya yang sama-sama pengurus. Donatur-donatur yang biasa beliau kunjungi sebagiannya diambil alih istri saya. Semakin hari kondisinya kian lemah, meski rutin menjalani kemoterapi hampir dua pekan sekali di Surabaya, yang berjarak 230 km dari rumahnya.
Ketika saya hendak berangkat umrah awal Januari 2015, saya pamitan ke beliau. Hanya satu pesannya, “Mohon doakan di tanah haram untuk kesembuahan saya.” Amanahnya itu pun sudah saya tunaikan, saat di raudhah Masjid Nabawi, saat thawaf, maupun sa’i. Dalam shalat tahajud saya di Masjidil Haram selalu ada doa untuk beliau.
Beberapa hari sebelum beliau berangkat ke RS dr Soetomo Surabaya, di tengah sakitnya yang kian parah, beliau sempat menelepon seorang pengurus Ibnu Katsir untuk menyerahkan donasi untuk ma’had. Subhanallah...
Sampai akhirnya sebulan lalu kondisi beliau makin melemah. Lalu, dibawa ke Surabaya untuk menjalani perawatan. Sebulan lamanya beliau dirawat, sampai akhirnya Allah SWT memanggilnya. Allah SWT lebih cinta kepada-Nya, meluruhkan dosa-dosanya melalui sakit yang dideritanya.
Saya, dan siapa pun yang beriman, pasti “iri” dengan kematian beliau. Dengan banyaknya kebaikan yang beliau tanam, beliau meninggal sesaat setelah menunaikan shalat dhuha di atas ranjang rumah sakit. Sakaratul mautnya terlihat sangat ringan, seperti orang tidur saja. Di rumah duka, yang melayat sangat banyak.
Seluruh hafizhah Ibnu Katsir menshalatkan jenazah beliau. Jenazahnya melintasi pagar betis para santriwati penghafal Al Quran. Jenazahnya diusung oleh enam orang santri penghafal Quran Ibnu Katsir. Yang memimpin shalat jenazahnya mudir Ibnu Katsir, Ustad Abu Hasanudin, SPd, Al Hafizh.
Bude... Selamat jalan... Saya selalu merindukanmu...
Bunda... Kami kehilangan dirimu...
Duhai mujahidah... Kepergianmu adalah bahan bakar dakwah bagi kami...
*by Hari Setiawan
__
KETERANGAN Foto:
1. Para santriwati penghafal Al Quran Ibnu Katsir menshalatkan jenazah beliau
2. Enam penghafal Al Quran bersiap mengusung jenazah beliau