Ustadz Rappung Samuddin
Tadarruj, atau proses bertahap dalam pelaksanaan hukum-hukum syariat, merupakan satu Kaidah yang muktabar dalam syari'at Islam.
Perlu diketahui, tadarruj dalam syariat ada tiga:
1. Tadarruj Tasyri'i (bertahap dalam penetapan). Dimana Allah menginginkan penetapan hukum tertentu, dengan menggunakan tahapan melalui hukum yg sifatnya sementara dan merupakan bagian darinya, hingga sampai pada bentuk hukum yang dimaksud pertama.
2. Tadarruj Tablighiy (bertahap dalam penyampaian). Yakni, menjelaskan sebagian ajaran agama dan mendiamkan sebagian lainnya hingga tiba waktu yg sesuai.
3. Tadarruj Tathbiqiy (bertahap dalam aplikasi). Yakni, bentuk hukum tasyri' sudah maklum dan jelas, akan tetapi didiamkan ut sementara aplikasinya (ut mashlahat). (Mahir bin Muhammad al Qurasyi, Al Islam Al Mumkin, 153).
Nah, maksud ungkapan ia adalah Kaidah, bahwa dia merupakan sesuatu yang tidak bisa dipisahkan dalam upaya mewujudkan syariat Islam secara sempurna. Demikian pula, dia berlaku pada setiap fasenya, bahkan hingga saat dimana Islam telah kuat atau syariat sudah sempurna. Kaidah ini tetap berlaku dan diaplikasikan.
Lihatlah Nabi Saw, disaat syariat telah sempurna dan ajal beliau sudah dekat, beliau tetap berpesan kepada Mu'adz bin Jabal ketika mengutusnya ke Yaman: "Sungguh engkau akan mendatangi suatu kaum dari ahli kitab; bila engkau telah mendatangi mereka, maka serulah mereka agar bersyahadat bahwa tiada Tuhan -yang haq untuk disembah selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Jika mereka menaatimu dengan hal itu, maka beritahukanlah pula kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan shalat lima waktu dalam sehari semalam; jika mereka menaatimu dengan hal itu, maka beritahukanlah lagi kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan untuk membayar zakat yang (prosesnya) diambil dari orang-orang kaya di kalangan mereka untuk dikembalikan (diberikan) kepada kaum fakir mereka". (HR. Bukhari dan Muslim).
Masih banyak dalil terkait kaidah tadarruj ini dalam Sirah Nabawiyah dan Sirah Khulafa al Rasyidin.
Maka itu, pertanyaan yang diajukan terkait metode ini, bukan lagi "apakah kita harus bertadarruj atau tidak?" Akan tetapi, pertanyaannya, "bagaimana cara kita bertadarruj". Benar, bahwa persoalan tadarruj ini tidak lepas dari kondisi kuat dan lemahnya posisi kaum muslimin, sesuai dengan tempat, zaman dan sebagainya, akan tetapi ia tidak terputus (tetap berlaku) untuk selamanya.
Alangkah indah ungkapan Khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika anaknya, Abdul Malik menyangka bahwa bapaknya terlalu lambat mengaplikasikan hukum syari'at:
"لا تعجل يا بني، فإن الله ذم الخمر في القران مرتين، وحرمها في الثالثة، وإني أخاف ان احمل الحق على الناس جملة، فيدفعوه جملة، ويكون من ذا الفتنة".
"Jangan engkau tergesa-gesa, wahai anakku. Sungguh, Allah Ta'ala mencela Khamr (minuman keras) dua kali, dan mengharamkannya pada kali ketiga. Aku khawatir, jika membawa kebenaran ini kepada manusia sekaligus, kemudian mereka menolaknya juga sekaligus, dan ini merupakan fitnah." (Abu Nu'aim, Hilyah al Auliya', 5/382).
Olehnya, Ibnu Abidin berkata:
"Kaidah tadarruj merupakan bagian yang melazimi kesempurnaan syariat dan kesesuaiannya pada setiap zaman dan tempat. Banyak sekali hukum-hukum syara' berbeda perlakuannya menurut perbedan tempat, urf (kebiasaan) penduduknya, kondisi darurat, kerusakan masyarakat dan sebagainya. Jika hukum (langsung) ditetapkan seperti pada generasi awalnya, tentu akan lahir kesulitan dan mudarat bagi manusia. Juga menyelisihi kaidah-kaidah syariat yang dibangun atas pondasi kemudahan, keluwesan dan penolakan terhadap segala kesulitan dan kerusakan. (Majmu'ah Rasail Ibni Abidin, 2/125).
Wallahu A'lam.
Sumber: http://ift.tt/1SUTDYL