Nasaruddin Umar, Tokoh Islam Liberal Diangkat Jadi Imam Besar Masjid Istiqlal


Mantan wakil menteri agama (wamenag) RI, Prof Dr Nasaruddin Umar, dikukuhkan sebagai imam besar Masjid Istiqlal Jakarta menggantikan KH Ali Mustafa Yaqub. Pengukuhan itu dilakukan oleh Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, Jumat (22/1/2016), di Jakarta. (Republika Online)

Siapakah Nasaruddin Umar?

Dalam Buku "50 Tokoh Islam Liberal Indonesia: Pengusung Ide Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme Agama" terbitan Hujjah Press (kelompok Penerbit Al Kautsar) nama Nasaruddin Umar masuk sebagai salah satu tokoh Islam Liberal Indonesia.

Gelar akademik tertinggi sebagai guru besar dalam bidang ilmu tafsir Fakultas Ushuluddin IAIN Syarif Hidayatullah diperoleh pada tanggal 12 Januari 2002 dengan judul pidato ilmiah “Bias Gender dalam Penafsiran Al-Qur’an”.

Seperti diwawancarai oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) dan dimuat di situsnya, Nasaruddin Umar menyatakan: “Semua kitab suci bias gender!”

Dalam soal Poligami, Nasruddin pernah mengatakan perlunya rekontruksi tafsir ayat soal poligami: "Jadi ada masa transisi yang digagas Islam sebagaimana juga persoalan poligami tadi. Yaitu transisi bagaimana Islam membebaskan umatnya dari masyarakat poligami. Dulu ada orang Arab yang punya istri sepuluh, lalu Nabi mensyaratkan untuk memilih empat diantara mereka kalau mau masuk Islam. Kalau Nabi mengatakan untuk memilih satu saja, tentu terlalu drastis."

Selain tentang perempuan, ada beberapa pendapat Nasaruddin Umar yang perlu dicatat, salah satu tentang pengertian Nabi yang “ummi”. Pendapat tersebut dapat dijumpai pada sebuah artikel yang ditulis pada edisi September 2005 majalah az-Zikra tentang definisi “ummi” bagi Nabi Muhammad SAW.

Menurut Nasaruddin Umar, “ummi” bukanlah berarti “tidak dapat membaca dan menulis, “sebagaimana yang dipahami para ulama Islam selama ini. Tapi, tulisnya, makna “ummi” yang benar ialah yang disebutkan dalam bahasa Ibrani, yakni “pribumi” (native).

Kata Nasaruddin Umar: “Saya cenderung memahami kata ummi dalam arti pribumi, mengingat suku dan keluarga Nabi Muhammad tidak termasuk golongan pembaca kitab. Yang masyhur sebagai pembaca kitab (Qori’) pada waktu itu ialah komunitas Yahudi dan Nashrani. Mereka bukan warga native di dunia Arab.

Jika pemahaman kita seperti ini, Nabi Muhammad tentu bukan sosok yang belum menganut paham salah satu kitab suci. Karenanya ia dipilih tuhan untuk menjadi Nabi dan Rasul. Orang secerdas Nabi sulit dipahami sebagai orang yang buta huruf atau orang yang tidak diperkenankan untuk membaca dan menulis.

Selengkapnya bisa dibaca di buku "50 Tokoh Islam Liberal di Indonesia" yang ditulis Budi Handrianto terbitan pertama tahun 2007.