Mengingat Jejak Teuku Nyak Arif Gubernur Aceh Pertama (Memoriam 17 Juli 1899 – 4 Mei 1946)


Oleh: Chaerol Riezal*

Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya dan menghormati jasa para pahlawannya. Para pahlawan itu sendiri sesungguhnya merupakan tokoh-tokoh sejarah yang telah mengorbankan jiwa-raga untuk kebesaran dan kejayaan bangsa dan negaranya. Itulah sebabnya mengapa mereka pantas diteladani sifat dan perilaku yang telah ditorehkan dalam sejarah, serta mengenang jejak-jejak pengabdiannya bagi negera. Maka tak heran, kebanyakan orang mengatakan sejarah adalah cerminan untuk masa depan bagi semua orang, terutama bagi generasi muda sebagai pewaris perjuangan dan pengisi hasil perjuangan.

Terlepas dari pro dan kontra, Teuku Nyak Arif manusia yang seluruh hidupnya diserahkan mutlak bagi Aceh dan kebesaran bangsa yang peduli terhadap kesejahteraan rakyat Aceh. Dia tidak pernah berfikir kapan namanya ditulis di lempengan emas, atau di atas prasasti. Dia tidak pernah berfikir namanya akan jadi kontroversial di hari kemudian. Satu yang ada di jiwanya: Bagaimana seluruh pelosok Aceh, dan rakyat menikmati kesejahteraan yang berkeadilan, adil dan makmur serta menjaga warisan nenek-moyangnya.

Terlalu sedikit tempat dan waktu untuk menuliskan kegagahan dan kebijaksanaan Teuku Nyak Arif dalam memimpin Aceh selama masa hidupnya. Kalau kita mau jujur, kita seharusnya bangga dan berbesar hati memiliki kakek moyang seperti Teuku Nyak Arif ini. Sebagaimana yang pernah dituliskan oleh Muhammad Said dalam salah satu karyanya; “Bagaimanapun jasa Teuku Nyak Arif dalam perjuangan kemerdekaan tidak dapat diremehkan. Bahwa ia diungsikan ke Takengon dan meninggal di sana tidak boleh dilihat dari prasangka bahwa jasanya tidak ada lagi. Kita banyak membaca riwayat-riwayat revolusi, bahkan revolusi Perancis sendiri, betapa orang berada paling depan menggalakkan revolusi telah dinilai sebaliknya. Memang sejarah bisa membiarkan tertutup dengan riwayat-riwayat yang benar faktanya. Tetapi kalau itu masih lapang waktu kenapa harus membiarkan seseorang diselimuti kabut-kabut yang melindungi kebenaran.” Satu diantaranya Nyak Arif.

Cerita keindahan dan kejayaan masa lalu, sebagaimana pun menarik dan menggugah emosi, tetaplah cerita yang tak bisa dijadikan apa-apa. Teuku Nyak Arif yang sampai kini masih terdapat kontroversi dan belum terkuak sejarah lainnya, bukanlah Teuku Nyak Arif yang membuat semua orang terpukau di era hidupnya. Kendati demikian, mungkin pada masa yang akan datang sejarah tentang Teuku Nyak Arif bisa lebih terbuka.

Atau, suatu saat nanti, (mungkin) sejarah Nyak Arif akan terbuka secara perlahan-lahan layaknya cahaya bulan yang membuat bumi menjadi indah dengan keberadaannya kadang nampak dan terkadang tertutup oleh awan. Hingga saat itu tiba, yang bisa dilakukan memang hanya berpegang pada ingatan tentang jejak seorang Teuku Nyak Arif. Kita tahu bahwa, bukankah sejarah itu tidak akan pernah final.

Nyak Arif dan Ingatan yang Terpahat

Teuku Nyak Arif, namanya telah menunjukkan bahwa dia merupakan seorang bangsawan Aceh. Ia dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 di Ulee Lheue, Banda Aceh. Teuku Nyak Arif adalah anak dari pasangan suami istri yang kebetulan sama-sama berasal dari Aceh. Ayahnya bernama Teuku Nyak Banta, dengan nama lengkapnya Teuku Sri Imeum Nyak Banta, seorang Panglima (kepala daerah) Sagi XXVI Mukim. Ibunya bernama Cut Nyak Rayeuh, bangsawan di daerah Ulee Lheue pula, tempat dimana Nyak Arif dilahirkan. Teuku Nyak Arif adalah anak ketiga dari lima orang saudara sekandung, 2 laki-laki dan 3 perempuan. Saudara tirinya yang dilahirkan dari 2 orang isteri ayahnya yang lain, 3 perempuan dan 2 laki-laki.

Teuku Nyak Arif setelah menyelesaian Sekolah Dasar di Kuta Raja, pada tahun 1908 meneruskan ke Sekolah Guru/Raja (Kweekschool) di Bukit Tinggi jurusan Pamong Praja (pemerintahan). Nama Teuku Nyak Arif pada saat itu sangat terkenal di kalangan murid-murid sekolah Kweekschool tersebut. Nama baik Nyak Arif tersemat dan terpahat sebagai teladan yang baik dalam hati segenap murid-murid yang berasal dari berbagai pulau Sumatera. Sifat dan sikapnya yang cekatan serta tutur kata yang indah dan ringkas namun tegas, telah menjadi perhatian di sekolah, bahkan sudah menjadi ciri khas seorang Nyak Arif.

Di sekolah Teuku Nyak Arif tersebut, peserta didik yang berasal dari Aceh tidak hanya Nyak Arif seorang. Selain Nyak Arif, beberapa murid dari Aceh yang menuntut ilmu di sekolah Kweekschool seperti, Mahmud, Said Abdul Aziz, Raja Ibrahim, Rahman, Alibasya, Rayeuk, Idris. Semua orang ini bergelar Teuku seperti halnya Teuku Nyak Arif. Setelah menyelesaikan Sekolah Raja di Bukit Tinggi, Teuku Nyak Arif melanjutkan pendidikannya ke sekolah lain. Pada tahun 1912, Teuku Nyak Arif melanjutkan sekolah ke OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren) di Banten.

Di sekolah yang baru ini, Nyak Arif mencoba mematangkan diriya dengan mengisi berbagai pengetahuan dan pengalaman yang ia dapat. Tak heran, Nyak Arif pun terlihat semakin matang, terutama di bidang politik. Selama menuntut ilmu di Banten, Nyak Arif memperdalam ilmu dibidang pramong praja sebagai lanjutan dari sekolah di Bukit Tinggi. Disinilah kelihatan kalau Teuku Nyak Arif adalah seorang yang cerdas, bahwa ia benar-benar mendalami disiplin ilmu yang ia tekuni sejak semula dari Bukittinggi sampai ke Banten.

Tampilnya Teuku Nyak Arif

Sewaktu masih sekolah diluar Aceh, Teuku Nyak Arif menunjukkan dua rupa wajahnya. Di satu sisi, Nyak Arif memiliki sifat yang tidak mau tunduk kepada Belanda. Di sisi lain, Nyak Arif memperlihatkan sifat yang begita ramah kepada teman-teman sekolahnya. Pada tahun 1915, Nyak Arif selesai sekolah di Banten dan pulang ke Aceh setelah sekian lama berpertualangan dan menuntut ilmu di negeri orang. Pada tahun 1918-1920, Teuku Nyak Arif bekerja sebagai pegawai urusan distribusi makanan beras rakyat. Selain itu, ia juga mengikuti kegiatan politik. Tahun 1918 masuk organisasi Nationale Indische Partij (NIP) yang mulanya bernama Insulinde yang diketuai oleh Douwes Dekker, dkk di Jakarta.

Di Aceh Teuku Nyak Arif tercatat sebagai orang yang terkemuka, mempunyai pengaruh besar di kalangan masyarakat. Kecakapannya sebagai orang keluaran OSVIA tampak menonjol, terutama didukung oleh keberaniannya menghadapi pembesar-pembesar Belanda. Oleh karena itu pada tanggal 16 Mei 1927 atas usul residen Aceh ia diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat). Di samping itu pekerjaannya sebagai Panglima Sagi XXVII tetap ia jalankan dengan baik. Sebagai anggota Volksraad ia lebih banyak tinggal di Aceh daripada di Jakarta.

Di sidang-sidang Volksraad ia selalu menunjukkan kecakapan dan keberaniannya terutama dalam mengeritik kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda. Lebih khusus lagi ketangkasannya menghadapi orang-orang Belanda anggota-anggota Volksraad yang reaksioner. Seringkali nama Teuku Nyak Arif muncul dalam laporan-laporan perdebatan di Volksraad di dalam surat kabar. Ia terpuji sebagai, “anak Aceh yang berani dan lurus” seperti ditulis dalam laporan harian Bintang Timur. Ia mampu menandingi orang-orang Belanda yang terkenal piawai berolah kata di Volksraad seperti Mr. Drs. Fruin, Lighart dan Zentgraaf, wartawan ulung yang amat terkenal pada zamannya.

Dalam tahun 1931 berakhirlah keanggotaan Teuku Nyak Arif dalam Volksraad. Ia kembali ke pekerjaannya sekaligus giat dalam perjuangan rakyat di Aceh. Berbagai langkah dan tindakannya senantiasa menuju kepentingan dan keringanan rakyat, bahkan pembelaan terhadap nasib rakyat kecil. Sekalipun kejadian tidak di wilayah kekuasaannya, namun Nyak Arif tidak segan-segan bertindak. Dialah satu-satunya Ulebalang (Panglima) yang amat disegani baik oleh rekan-rekannya maupun oleh Belanda.

Pada tahun 1939 di Aceh berdiri Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) yang diketuai oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh. PUSA mengadakan hubungan dengan Jepang di Malaya sejak 1940-1942. Kemudian Jepang mempergunakan PUSA untuk melemahkan Belanda di Aceh dengan segala jalan. Teuku Nyak Arif prihatin melihat langkah-langkah PUSA dan menganggapnya sebagai suatu kemunduran bagi pergerakan nasional.

Keadaan makin lama makin memuncak. Pada 8 Maret 1942 residen Aceh mengadakan pertemuan politik dengan Tuanku Mahmud dan Teuku Nyak Arif. Permintaan Nyak Arif agar pemerintah diserahkan kepadanya ditolak oleh residen. Pertemuan lanjutan pada 10-11 Maret 1942 diundang 9 pemimpin-pemimpin Aceh, namun Nyak Arif tidak hadir. Ternyata 8 orang pemimpin yang hadir semuanya ditangkap. Rumah Nyak Arif di Lamnyong diserbu, namun Nyak Arif tak diketemukan dan keluarganya sempat meninggalkan rumahnya sebelum diserbu Belanda. Kolonel Gozenson panglima militer di Aceh berusaha sungguh-sungguh untuk menangkap Nyak Arif, tapi tidak berhasil. Pemimpin-pemimpin lainnya, Cut Hasan Mauraxa, Hanafiah dan Raja Abdullah berhasil ditangkap.

Pada 12 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Sabang, kemudian Mayor Jenderal Overakker dan Kolonel Gazenson menyerah kepada Jepang pada 28 Maret 1942. Sementara itu, rakyat telah membentuk “Komite Pemerintahan daerah Aceh” dengan Teuku Nyak Arif sebagai ketuanya. Jepang mengatur pemerintahan di Indonesia dengan pembagian yang berbeda dengan Belanda. Salah satunya Sumatera dibagi menjadi 9 karesidenan, semuanya dikepalai oleh residen Jepang (Cookang). Di Aceh Jepang menggunakan kaum Uleebalang dalam pemerintahan. Hal ini menimbulkan kekecewaan kepada PUSA yang merasa berjasa kepada Jepang, tetapi hanya dipakai untuk bidang keagamaan.

Teuku Nyak Arif menempuh jalan kerjasama dengan Jepang. Ia diangkat menjadi penasehat pemerintahan militer Jepang. Sebenarnya Nyak Arif tidak menaruh kepercayaannya kepada Jepang. Ucapannya yang terkenal ialah: “Kita usir anjing, datang babi (talet but, ta peutamong ase).” Belanda pergi Jepang datang, demikianlah maksud ucapan itu. Dua-duanya sama-sama busuknya. Nyak Arif memang disegani oleh Jepang. Meskipun ia keras dan banyak bentrok dengan pejabat-pejabat Jepang sipil dan militer, namun pemerintah Jepang mau tidak mau harus memperhitungkan dia sebagai pemimpin rakyat Aceh yang besar pengaruhnya. Pada tahun 1944 Nyak Arif dipilih menjadi wakil ketua “Sumatera Chuo Sangi In” (Dewan Perwakilan Rakyat seluruh Sumatera) yang diketuai oleh Moh. Syafei. Ia berpendirian, kerjasama dengan Jepang harus dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat.

Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II disampaikan oleh Chokang Aceh S. Ino kepada pemimpin-pemimpin Aceh, Teuku Nyak Arif, Panglima Polim dan Tengku Muhammad Daud Beureueh, katanya: “Jepang telah berdamai dengan Sekutu.” Proklamasi Kemerdekaan Indonesia terdengar di Aceh yang disampaikan oleh 2 orang pemuda kepada Teuku Nyak Arif, kemudian didapat berita-berita radiogram dari Adinegoro di Bukittinggi. Pemimpin-pemimpin rakyat mengadakan pertemuan dan membentuk “Komite Nasional Indonesia” (KNI) pada tanggal 28 Agustus 1945. Teuku Nyak Arif dipilih menjadi ketuanya. Pada tanggal 3 Oktober 1945 Teuku Nyak Arif diangkat oleh pemerintah RI menjadi residen (gubernur) Aceh. Selanjutnya Teuku Nyak Arif diliputi oleh berbagai kegiatan, baik soal-soal sipil maupun soal-soal keamanan/ketentaraan.

Dalam keadaan peralihan yang serba berat, maka residen Nyak Arif lebih banyak menyerupai pimpinan ketentaraan. Oleh karenanya tugas sipilnya banyak diserahkan kepada wakil residen. Teuku Nyak Arif banyak mengadakan perjalanan keliling mengatur ketentaraan dan khususnya keamanan. Karena jasanya itu ia pada tanggal 17 Januari 1946 ia diangkat menjadi Jenderal Mayor Tituler. Revolusi masih berjalan terus. Setiap waktu dapat terjadi perobahan yang di luar perhitungan. Di Aceh bergolaklah kembali persaingan antara kaum Ulebalang dan kaum Ulama. Laskar yang terbesar di Aceh adalah Mujahiddin dan Pesindo. Mujahiddin yang di bawah pengaruh kaum agama mempunyai ambisi akan menggantikan residen Nyak Arif. Maksud itu mendapat dukungan dari TPR (Tentara Perlawanan Rakyat). Konon, ada beberapa pihak yang mendukung untuk melengserkan residen Teuku Nyak Arif.

Suatu Hari, 4 Mei 1946...

Datanglah ke Banda Aceh, atau tepatnya Lamnyong suatu hari nanti. Disana kenangan-kenangan akan Teuku Nyak Arif masih dapat disaksikan secara jelas. Rumah Teuku Nyak Arif masih berdiri kokoh untuk dijadikan bukti bahwa Teuku Nyak Arif ini memang benar pernah terlibat dalam sejarah Aceh. Bagi Anda yang beruntung yang sudah pernah mengunjungi makam Teuku Nyak Arif, ada salah satu hal yang menarik di halaman makam tersebut. Tepat dibagian depan pintu masuk makam tersebut, kita akan disambut oleh dua buah monumen yang sangat bersejarah, dengan tulisan yang di permanen menunjukkan waktu “4 Mei 1946” di salah satu monumen tersebut. Waktu itu menunjukkan adalah suatu hari meninggalnya Mayjen Teuku Nyak Arif, seorang pahlawan nasional berasal dari Aceh.

Mengutip dari buku-buku sejarah yang ada, waktu itu adalah hari ketika tiba-tiba waktu berhenti untuk seorang Teuku Nyak Arif. Meninggalnya Nyak Arif, dapat digambarkan sebagai “hari kelam bagi Pemerintah (atau dulu) disebut Residen Aceh”. Hari yang kelam tersebut datang dalam satu tahun (1946) yang dimulai begitu cepat untuk Aceh, terutama untuk keluarga yang ditinggalkan Nyak Arif, mereka menjulukinya sebagai Hari Kelabu. Betapa tidak, “Hari Yang Kelam” tersebut datang ketika suasana di Aceh saat itu sedang tidak nyaman; Perang Combok meletus. Meninggalnya Teuku Nyak Arif tidak dapat dipisahkan dari peristiwa perang saudara Aceh tersebut. Dalam tulisan ini, Perang Cumbok tidak akan dibahas.

Teuku Nyak Arif yang saat itu merupakan Residen Aceh mempunyai pengaruh yang besar dikalangan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Aceh yang dipimpin oleh Syamaun Gaharu. Saat itu, para pemimpin di Aceh sedang mengalami perebutan kekuasaan yang ada saat itu, terutama di antara kalangan ulama dan uleebalang. Nyak Arif yang merupakan dari kalangan uleebaalang, mendapatkan isu-isu yang propagandakan oleh berbagai pihak agar Teuku Nyak Arif dinonaktifkan dan diasingkan ke Takengon. Desakan ini kemudian menjadi kenyataan; pangkat Mayor Jenderal Teuku Nyak Arif diambil alih oleh Husin al Mujahid dan pangkat Syamaun Gaharu diambil alih oleh Husin Yusuf. (mungkinkah ini sebagai bentuk kudeta?).

Teuku Nyak Arif lebih bersedia menyerahkan segala jabatan yang diembannya, ketimbang harus berperang sesama bangsa sendiri. Kali ini Nyak Arif memperlihatkan bahwa ia adalah seorang yang tidak haus akan kekuasaan dan lebih mementingkan persatuan rakyat. Buktinya, Nyak Arif bersedia memberikan segala jabatannya dan menerima penahanannya dengan lapang dada. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari jiwa nasionalis yang telah lama ditanam oleh Nyak Arif, bahwa sejak dari dulu ia cukup gencar melawan segala bentuk penjajahan bangsa asing diatas negerinya, dan ia kerapkali terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia serta meneruskan cita-cita revolusi.

Setelah menyerahkan pangkatnya, maka dilakukanlah penangkapan terhadap Teuku Nyak Arif. Karena mengetahui Nyak Arif masih memiliki pengaruh yang besar, golongan yang berseberangan dengan Nyak Arif melakukan penangkapan Teuku Nyak Arif secara baik-baik dan dengan penghormatan. Kepada keluarganya dikatakan bahwa Teuku Nyak Arif dibawa untuk beristirahat, kebetulan memang saat itu Nyak Arif sedang sakit. Akhirnya Teuku Nyak Arif dibawa ke Takengon dengan mobil dan mendapat pengawalan ketat. Ketika Nyak Arif dibawa ke Takengon, pada saat itu keluarga tidak dibolehkan ikut bersama dengan Nyak Arif. Barulah sekitar sebulan keluarga di izinkan mengunjungi kediaman Teuku Nyak Arif.

Selama Teuku Nyak Arif ditawan di Takengon, banyak tokoh-tokoh dan rakyat yang berdatangan menjenguk Nyak Arif. Bahkan Tengku Muhammad Daud Beureueh yang merupakan teman akrab Teuku Nyak Arif semenjak masa Belanda, meskipun terdapat pandangan politik yang berbeda, ikut juga menjenguk dan menanyakan kondisi kekinian tentang Teuku Nyak Arif. Pun begitu juga dengan Nyak Arif menanyakan balik kepada Daud Beureueh tentang kondisi Aceh pasca ia ditahan dan diasingkan.

Sebelum meninggal dunia, Teuku Nyak Arif banyak menitipkan pesan kepada istri dan keluarganya. Pesan dan wasiat Nyak Arif pun didengar betul oleh keluarganya dan berjanji untuk segera menepatinya. “Jangan menaruh dendam, karena kepentingan rakyat harus diletakkan di atas segala-galanya”. Demikianlah pesan terakhir Mayor Jenderal Teuku Nyak Arif kepada keluarga sebelum ajal menjemputnya. Akhirnya waktu itu tiba. Dengan ditemani istri, adik dan anak-anaknya, Teuku Nyak Arif menghembuskan nafas terakhirnya tepat pada tanggal 4 Mei 1946 di Takengon, Aceh Tengah.

Sejak saat itu, tidak ada hal lain selain kesedihan-lah yang tejadi pada hari itu juga. Simpati, empati, rasa hormat, belasungkawa, kekacauan, kehancuran dan pengkhianatan semuanya bercampur aduk menjadi satu. Hari ini (4 Mei 2015), 69 tahun yang lalu setelah kejadian tersebut, haruskah kemudian laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua, dan seluruh manusia di negeri ini mendapatkan warisan sejarah berharga; setiap detail terkenang dari peristiwa yang melibatkan Teuku Nyak Arif. (Mungkin) tragedi dan simpati telah membantu menarik hati mereka semua; pasukan Ulee Balang, pasukan Ulama Aceh (PUSA), atau siapapun yang berkaitan dengan segala peristiwa di tahun-tahun yang melibatkan Teuku Nyak Arif. Semua hal-hal yang hancur lebur pada masa tersebut, akhirnya terlahir kembali.

Adalah monumen yang bertuliskan waktu permanen tepat berada dibagian depan gerbang masuk salah satu makam pahlawan nasional di desa Lamreung, Ulee Kareng. 4 Mei 1946, waktu memang berhenti seketika untuk salah satu putra Aceh yang bernama Teuku Nyak Arif. Tapi sebelum waktu itu tiba, cerita sesungguhnya baru saja dimulai tatkala seorang bocah yang dilahirkan pada tanggal 17 Juli 1899 telah ikut berbicara dalam sejarah Aceh sampai pada 4 Mei 1946. Sebuah cerita yang selamanya akan menggetarkan setiap jiwa yang berhubungan dengan Teuku Nyak Arif; entah itu pada masa Belanda, pergerakan nasional, pendudukan Jepang, kemerdekaan Indonesia, bagi Pemerintah Indonesia maupun Pemerintah Aceh, atau ... pada masa Perang Cumbok.

Hari-Hari Setelah Meninggalnya Nyak Arif

Semenjak meninggalnya Teuku Nyak Arif, tampaknya Aceh telah kehilangan sosok yang sangat penting yang selama ini telah berjuang bersama-sama dengan rakyat Aceh. Di lain sisi, keluarga Teuku Nyak Arif harus buru-buru mempersiapkan proses pemakaman jenazah. Tak heran, saat itu sempat pula hadir beberapa spekulasi; apakah Teuku Nyak Arif dikebumikan di Takengon saja atau dibawa pulang ke Kutaraja (kini Banda Aceh).

Pembicaraan-pembicaraan penuh keputusan banyak terjadi; mulai dari keamanan di sekitaran Teuku Nyak Arif menghembuskan nafas terkahir, keamanan di Takengon, bahkan di koridor Kutaraja. Namun, dapat dipastikan bahwa proses perjalanan jenazah Teuku Nyak Arif dari Takengon ke Kutaraja berlangsung aman. Seluruh keluarga yang ikut berangkat dengan jenazah Teuku Nyak Arif, tak mampu menahan kesedihan bahkan isak tangis pun mewarnai proses dalam perjalanan jenazah.

Setelah Teuku Nyak Arif meninggal dunia, banyak tokoh dan pemimpin serta rakyat yang melayat. Jenazah Teuku Nyak Arif yang berada di Takengon, dibawa ke Bireuen kemudian dilanjutkan ke Sigli dan dari Sigli dibawa dengan kerta api menuju Kutaraja. Jenazah Teuku Nyak Arif dimakamkan di desa Lamreung, yang tidak jauh dari Lamnyong. Makam Teuku Nyak Arif berdampingan dengan makam ayahnya sendiri, Teuku Nyak Banta. Mengingat besarnya jasa-jasa Teuku Nyak Arif baik untuk Aceh maupun Indonesia, Pemerintah RI menganugerahi Teuku Nyak Arif gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden No. 071 /TK/Tahun 1974 tanggal 9 Nopember 1974.

“Selamat jalan Mayor Jenderal Teuku Nyak Arif, ingatan kami tentang sejarah-mu takkan pernah hilang ditelan oleh masa. Doa kami turut selalu menyertai nama-mu”.

*Penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Banda Aceh dan Koordinator Wilayah Ikatan Himpunan Mahasiswa Sejarah se-Indonesia (IKAHIMSI) Wilayah VIII Aceh dan Sumatera Utara.