[Turki akan menggelar Pemilu Legislatif 7 Juni mendatang. Ahmad Dzakirin, seorang pengamat Timteng, penulis buku 'Kebangkitan Pos-Islamisme AKP Turki', berbagi catatan seputar Pemilu Turki]
***
Madrasah Imam Hatip dan Vocal Point Kampanye
Eksistensi madrasah Imam Hatip menjadi medan pertarungan sesungguhnya antara partai-partai Islam vis a vis sekuler dalam sejarah Turki. Kini, AKP versus CHP.
Seiring berdirinya Republik Sekuler Turki, Kemal Pasha banyak menutup masjid dan madrasah. Lembaga-lembaga keagamaan dipandang sebagai kekuatan reaksioner (irticaci) yang hanya akan membawa Turki kepada kemunduran.
Kendati timbul tenggelam, pelbagai upaya dilakukan kelompok-kelompok sipil seperti Mili Gorus, Hizmet dan cemaat sufi-sufi lainnya, mempertahankan nafas dan tradisi agama di tengah masyarakat. Tidak hanya minus peran negara namun acapkali kali dimusuhi negara.
Karena, empat kali kudeta militer atas pemerintahan sipil terjadi eksklusif atas dua alasan, komunisme dan Islam. Adnan Menderes pada 1960-an digantung karena memoderasi kebijakan anti Islam Ataturk. Erbakan digulingkan karena dituduh hendak mendirikan negara Islam.
Dalam konstruksi sekuler, eksistensi madrasah Imam Hatip timbul tenggelam. Buka tutup seiring kudeta dan tekanan kelompok sekuler. Mereka hanya berkepentingan dua hal atas sekolah ini, yakni: pengendalian negara atas kelompok Islam dan mempertahankan tafsir agama versi Kemalisme.
Secara umum, rejim sekuler menjadikan madrasah sebagai alternatif pendidikan kelas dua karena pelbagai restriksi dan kesulitan akses pekerjaan.
Kendati menghadapi tentangan keras, pemerintahan Erdogan secara bertahap menggeliatkan kualitas madrasah Imam Hatip. Tidak hanya diperluas jangkauannya hingga SMP, namun juga kesetaraan akses masuk perguruan tinggi umum. Mereka boleh berkompetisi dengan lulusan sekolah umum lainnya dan memilih jurusan sesuai minatnya. Hasil riset menunjukkan mayoritas mereka memilih jurusan hukum.
Diluar itu, menurut data 2015, dibutuhkan tidak kurang 22 ribu lowongan pekerjaan di Diyanet dan rata-rata setiap tahunnya, terdapat 13 ribu lowongan pekerjaan untuk lulusan sekolah ini.
Tidak pelak, dalam pemilu kali, isu madrasah Imam Hatip kembali menjadi vocal point pertarungan partai-partai sekuler versus Islam. Kemal Kiliricdoglu, ketua CHP dalam kampanyenya di Nidge berjanji akan menutup 1000 sekolah prestisius ini dan hanya menyisakan 50 saja.
Mengomentari ancaman tersebut, Erdogan pasang badan. "Jika Kiliricdoglu hendak menutupnya, dia harus berhadapan dengan saya," tantangnya, yang disambut gegap gempita. Erdogan sendiri lulusan sekolah Imam Hatip.
Diluar alasan ideologi, Kiliricdoglu tampaknya melihat sekolah agama menjadi sumber rekrutmen dan bangkitnya kesadaran agama yang tiada putus.
Kelompok-kelompok Islam selalu saja sukses menyiasati pelbagai kendala dan hambatan yang dipasang, disamping gairah keagamaan masyarakat Turki yang tidak pernah berhenti.
Pada era 80-an, para aktivis Mili Gorus banyak yang masuk menjadi pegawai konsuler Diyanet di Eropa dan Balkan seiring keinginan pemerintah meningkatkan peran regionalnya di kawasan itu. Ini menjadi salah satu benang merah, kuatnya mereka di Eropa.
Faktanya juga, separo lebih murid Imam Hatip perempuan, meskipun hampir tidak ada akses pekerjaan karena rekrutmen pegawai hanya untuk pria.
Kini, Kiliricdoglu mencoba mencari peruntungan politik, menarik garis demarkasi pilihan konstituen, kami atau mereka, Islam atau sekuler? Pilihan isu kampanye yang ceroboh, sehingga menjadi amunisi empuk kampanye AKP. CHP hendak mempertahankan basis tradisionalnya, kendati semakin mengecil.
Namun demikian, platform kampanye tersebut dapat juga dibaca sebagai komitmen ideologi partai dan sekaligus menjelaskan watak politik mereka. Sekularisme Ataturk harga mati.
(Ditulis dari sudut Blue Mosque, menunggu gerimis reda)
*by Ahmad Dzakirin, 27/5/2015