Catatan Kritis Wartawan Senior tentang "Tragedi Tolikara"


"Ada Burung Unta di Tolikara Papua"

Oleh S Sinansari Ecip*
(Wartawan Senior)

Kita sudah tahu ada pembakaran masjid di Tolikara pada tanggal 17 Juli 2015, hari Idul Fitri. Masyarakat Indonesia gempar. Sebelumnya tidak pernah ada masjid dibakar pada hari yang disucikan.

Gereja Injili Tolikara yang mengakui 'memiliki' wilayah Kabupaten Tolikara melarang kegiatan ibadah Islam Idul Fitri tanggal 17 Juli 2015. Alasannya karena mereka mengadakan seminar internasional (surat kepada umat Islam se-Kabupaten Tolikara tanggal 11 Juli 2015). Jadwal Idul Fitri sudah ada di kalender umum tanggal 17 atau 18 Juli 2015, mengapa seminar dilakukan pada 13-19 Juli 2015?

Konon ada ralat lisan, ada pula yang mengatakan ralat tertulis, tapi tidak disosialisasikan. Karena terkejut oleh respons yang besar dari kalangan Muslim, sejumlah orang berusaha mempersempit ruang masalah. Itu adalah urusan sosial dan lokal.

Sebenarnya, pembakaran masjid adalah urusan agama. Memang benar tidak ada konflik fisik agama. Yang ada adalah konflik pemeluk agama tertentu dengan rumah ibadah milik umat yang lain. Menurut otonomi daerah, agama adalah urusan pusat, bukan hanya urusan lokal.

Pejabat agama tertentu di tingkat pusat menyebut tragedi itu sebagai luka bersama. Jelas yang menjadi korban adalah umat Islam, jadi yang dilukai adalah umat Islam. Bahwa kemudian ada pihak lain yang jadi korban terluka itu karena ulah mereka sendiri.

Sejak awal kelompok tertentu dan banyak pejabat menyebut tempat ibadah Muslim Tolikara tersebut adalah mushala. Papan namanya tertulis bernama masjid, yang antara lain untuk shalat Jumat berjamaah. Itu sekadar cara lain untuk memperkecil masalah. Esensi fungsi mushala dan masjid adalah sama, yaitu untuk beribadah.

Di dalam konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah direvisi), terdapat dua ayat dalam dua pasal yang dilanggar. Pelanggaran konstitusi adalah pelanggaran berat. Ancaman hukumnya tercantum di dalam undang-undang bawahannya, mungkin UU HAM, mungkin pula UU Terorisme. Perhatikan ayat-ayat di bawah ini.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat 1, "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya..." UUD Pasal 29 Ayat 2, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu."

Ada masalah

Sebagian besar tokoh lokal mereka dan kemudian diikuti beberapa pejabat di Jakarta mengatakan, tidak ada masalah antaragama di Papua. Apa benar tidak ada masalah? Pemberian izin mendirikan masjid sangatlah dipersulit di sana.

Itu sangat berbeda dengan pendirian gereja di tempat yang penduduknya mayoritas Muslim. Lihat Gereja Reformed Injili Indonesia (Katedral Mesias Kemayoran), gagah berkubah besar, dekat jalan layang Kemayoran. Biaya pembangunannya 30 juta dolar AS. Belum lagi GBI Mawar Sharon di Kelapa Gading. Banyak orang tidak tahu di Senayan (Balai Sidang) Ruang Cenderawasih (kapasitas 7.500 orang) disewa oleh Gereja Bethel Indonesia. Warga Muslim setempat tidak terlalu ribut.

Ada keributan sedikit terkait pendirian Gereja Yasmin di Bogor, yang jauh lebih kecil. Pemda sediakan tempat lain bahkan untuk sementara menyewakan ruang gedung untuk beribadah rutin. Tetapi, jemaatnya tidak mau dan secara demonstratif beribadah di pinggir jalan bahkan di depan Istana Merdeka.

Di Manokwari (Provinsi Papua Barat) soal Masjid Agung dan di Perumahan Asri bermasalah. Alasan penolakannya untuk menjaga eksistensi Papua sebagai tanah damai dan Manokwari sebagai Kota Injil (surat protes Badan Kerja Sama Antargereja Manokwari tanggal 16 September 2010).

Di Provinsi Papua terjadi beberapa peristiwa. Masjid Wamena, sekitar 100 kilometer dari ibu kota Tolikara, dibakar, pada sekitar tahun 2005. Kabupaten Tolikara adalah pemekaran Kabupaten Wamena.

Di Markas Brimob, masjid dilarang bertingkat, akhirnya dibongkar. Masjid di Mapolda pada waktu kapoldanya non-Muslim tidak boleh digunakan oleh masyarakat Muslim di luar Markas Polda. Masih ada belasan problem berkait pendirian rumah ibadah dan sekolah Muslim. Data lengkapnya ada di kantor MUI pusat.

Upaya untuk memperkecil masalah pembakaran masjid di Tolikara sulit dimengerti. Peristiwanya besar ingin dijadikan peristiwa di ujung kuku. Ada yang mengibaratkan seperti burung unta. Jika dalam bahaya, burung unta di gurun pasir segera menyusupkan kepalanya ke dalam pasir untuk bersembunyi.

Namun, tubuhnya yang besar masih tampak dari kejauhan. Apakah burung unta itu kini berada di Papua?

*Sumber: ROL