Ketika Publik Tak Lagi "Nurut" dan Menciptakan "Media Oposan"


Pengelola-pengelola media mainstream nampaknya mulai gelisah. Khalayak (audiens) seperti tidak mau lagi "nurut" pada apa yang diarusutamakan (mainstreaming).

Gejala ini sangat tampak pada arus berita menyangkut Joko Widodo dan Basuki T. Purnama. Alih-alih ikut ber "sorak-sorak bergembira" menjadi bagian dari arus, khalayak justru berdiam bagai batu kokoh di tengah arus. Sebagian, malah menampilkan perlawanan dengan menciptakan arus tandingan dengan menampilkan berita-berita yang justru kontra.

Lucunya, pengelola media mainstream kelihatan tidak terima dengan kenyataan bahwa khalayak menentang arus mereka. Khalayak justru dihakimi sebagai "terlihat bodoh di internet". Sumber berita yang ditautkan khalayak di internet di"gugat" sebagai berita dengan sumber tak jelas.

Para pengelola media mainstream ini masih merasa pelabelan "baik" atau "buruk" ada sepenuhnya di tangan mereka. Masih merasa bahwa eksklusivitas mutlak mereka yang tentukan. Mereka mungkin tidak menyadari, khalayak banyak melabeli mereka sebagai partisan, berpihak, dan (mungkin) sudah "makan dari kedua obyek berita (Jokowi-Ahok) yang mereka coba arusutamakan terus menerus".

Jaman sudah berubah. Peletakan informasi-banding adalah tanda bahwa khalayak sudah sejajar dengan pengelola media. Tak soal sumber beritanya valid atau tidak, bagi khalayak yang penting melawan pembodohan-pembodohan yang dilakukan media mainstream. Valid atau tidak, tautan-tautan berita yang diletakkan khalayak di internet sangat efektif membuyarkan upaya pembentukan arus utama oleh media-media yang sudah sangat kasat mata tampil partisan.


(Canny Watae)