Cegah Aksi Tolikara Terulang, GIDI Harus Dibekukan


Aksi teror di Tolikara mengundang keprihatinan dari banyak pihak. Walaupun polisi sudah tetapkan dua orang tersangka, namun aktor intelektual tragedi Tolikara belum terungkap.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jendral Badrodin Haiti mengatakan pihaknya masih belum mengetahui siapa aktor intelektual di balik kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua, yang terjadi pada hari raya Idul Fitri jumat dua pekan lalu itu.

"Indikasinya apa yang terjadi di Tolikara ada aktornya, tapi masih kami selidiki," katanya di Bangkalan, Sabtu, 25 Juli 2015, seperti dilansir Tempo.

Menurut Badrodin, penyelidikan untuk mengungkap musabab sebenarnya di balik rusuh Tolikara terus berjalan.

Peneliti di Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B Nahrawardaya mengatakan bahwa peristiwa Tolikara adalah sebuah proses awal dari sebuah kebiadaban besar bernama terorisme. Unsur-unsur dari peristiwa terorisme sebenarnya telah terpenuhi pada kejadian di Tolikara.

Unsur-unsur sebuah kejadian dapat digolongkan sebuah aksi terorisme menurutnya telah terpenuhi dan itu terjadi terang benderang di depan mata kita. Setidaknya ada lima unsur yang dapat dilihat sebagai sebuah aksi terorisme.

Pertama, ada ideologi yang mendorong pelaku untuk melakukan kekerasan berupa perusakan, pembakaran, dan perbuatan menebar kebencian yang mana beberapa perilaku ini dapat disebut sebagai tindakan-tindakan radikalisme. Adanya surat intoleran dari GIDI, cukup sebagai bukti adanya satu ideologi yang mendorong mereka untuk melakukan teror.

Kedua, ada efek berantai akibat perbuatan teror para pelaku. Efek ini berupa ketakutan massal. Efek ketakutan massal tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja, tetapi juga dirasakan oleh Kristen selain yang mengikuti aliran/organisasi para pelaku. Seperti diketahui, bahwa korban dari perbuatan pelaku teror Tolikara, tidak hanya pihak Islam, namun juga pemeluk agama-agama lain, termasuk Kristen sendiri.

Ketiga, pelaku diketahui memiliki jaringan. Dengan adanya banyak cabang organisasi para pelaku, bahkan adanya jaringan di luar negeri, maka dimungkinkan jaringan ini telah dan akan berkontribusi untuk melakukan perilaku teror bahkan bisa lakukan tindakan terorisme pada waktu dan tempat berbeda di waktu mendatang. Jika tidak dihentikan dari awal, maka GIDI berpotensi menjadi organisasi teroris besar seperti Al Qaeda atau Jamaah Islamiyah.

Keempat, pendanaan teror. Tidak mungkin para pelaku teror lapangan bekerja tanpa pendanaan. Banyaknya massa, adanya minyak, adanya pemantik api, adanya peralaan sound system, adanya gerakan massa merusak bahkan keberanian melakukan teror di depan markas militer, sangat mungkin didorong oleh adanya unsur pendanaan untuk melakukan teror.

Kelima, adanya penghinaan kepada Negara. Perilaku kekerasan berupa pembakaran tempat ibadah yang mana bangunan tersebut terletak di dekat Koramil, membuktikan bahwa para pelaku dan sutradaranya terbukti secara brutal melakukan penghinaan dan pelecehan pada Simbol Negara tanpa rasa takut. Sudah intoleran, plus pamer kekerasan di depan hidung tentara.

Untuk itu, sangat urgent menurutnya dilakukan negara agar segera membekukan Organisasi Gereja Injili di Indonesia (GIDI), membekukan rekeningnya, kemudian melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang terlibat langsung atau tidak langsung terhadap pembakaran Masjid dan Ruko di Tolikara.

Melalui pres rilis kepada media, juru bicara Komite Ummat untuk Tolikara ini mendesak kepolisian agar orang-orang yang menandatangani Surat Edaran GIDI yang berisi larangan bagi umat Islam berhari raya dan larangan berjilbab yakni Nayus Wenda dan Marthen Jingga, harus segera ditetapkan sebagai tersangka dan penting kiranya segera ditangkap.