Oleh Mohammad Baharun*
(Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI Pusat)
Tidak terasa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 26 Juli ini sudah berusia 40 tahun. Berdasarkan piagam berdirinya, MUI lahir pada 26 Juli 1975 M (bertepatan 17 Rajab 1395 Hijriyah)—kala itu ditandatangani 53 ulama yang terdiri dari 26 orang dari daerah dan 10 unsur dari ormas Islam: Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Al-Washliyah, Mathla’ul Anwar, GUPPI, PTDI, DKM, dan Ittihadiyah. Sedangkan, empat orang lainnya dari Dinas Rohaniah Islam AD, AU, AL, dan Polri serta 13 orang dari ulama undangan lainnya.
Pada awal berdiri, MUI didorong setidaknya dengan tiga semangat ulama Indonesia. Pertama, kewajiban membina umat Islam untuk lebih bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan turut serta memperkokoh ketahanan nasional serta melawan ateisme.
Kedua, membangun masyarakat yang seimbang material-spiritual, dunia-akhirat. Ketiga, mewujudkan ukhuwah Islamiyah dalam rangka pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Untuk merealisasikan peran ulama tersebut, MUI melaksanakan tugas amar makruf nahi mungkar yang hakikatnya menjadi sesuatu yang pokok dalam program MUI. Usaha ini dilaksanakan antara lain mengawal akidah umat, mencerahkan kaum Muslimin dengan fatwa-fatwa yang memberikan kepastian hukum pada berbagai persoalan umat, mendorong pelaksanaan syariah, dan seterusnya.
Dalam merajut hubungan dengan pemerintah, peran ulama termasuk turut menjaga dan mempertahankan ketahanan nasional, memberi pertimbangan mengenai kehidupan beragama kepada pemerintah, dan last but not least menjadi jembatan penghubung antara ulama dan umara.
Menteri Agama Prof Dr H Mukti Ali ketika berdirinya MUI itu mengatakan, "Pada hari ini di tempat ini telah dikubur untuk selama-lamanya iklim curiga-mencurigai dan saling tidak percaya-memercayai antara ulama dan pemerintah." Sedangkan, Prof Dr Hamka (ketua umum MUI pertama) dalam sambutannya mengibaratkan hubungan 'ulama-umara' itu laksana kue bika yang sedang dimasak dalam periuk belanga. Dari bawah dinyalakan api, inilah pelbagai macam keluhan umat dan masyarakat, sedangkan api dari atas itulah harapan pemerintah (umara).
Apa yang menjadi cita-cita MUI meski sudah usia 'sempurna' 40 tahun memang belum banyak bisa memenuhi semua harapan umat dan masyarakat yang kompleks ini. Namun, upaya untuk melakukan yang terbaik sudah diusahakan maksimal. Di bidang fatwa sudah banyak fatwa MUI yang memberikan pencerahan dan kepastian hukum—secara akidah dan syariah kepada umat. Termasuk untuk mendorong business doing yang syar’i, MUI telah membentuk Dewan Syariah Nasional atau DSN (1997) disertai dengan pembentukan Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas).
Lembaga DSN ini punya visi 'Memasyarakatkan ekonomi syariah dan mensyariahkan ekonomi masyarakat.' Berkembangnya bank-bank syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, reksa dana syariah, dan sebagainya itu tidak terlepas dari peran MUI dalam membidani dan mendorong pertumbuhannya. Respons masyarakat sangat positif sehingga hal ini mendorong pertumbuhan di bidang ekonomi secara nasional.
Bahkan, untuk melengkapi proses ekonomi syariah yang bergulir ini, sebuah perguruan tinggi negeri membuka prodi S2 konsentrasi notariat syariah, yakni di Universitas Sebelas Maret di Solo. PTN ini siap menyediakan notaris syariah yang akan menangani akad-akad syariah di lembaga keuangan syariah dan sebagainya.
Demikian pula lahirnya Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM MUI) telah memberikan kepastian terhadap makanan, minuman, obat-oabatan, dan kosmetik yang dikonsumsi masyarakat dengan sertifikasi halal. Hal tersebut sudah berlangsung dengan baik selama ini dan dirasakan manfaatnya oleh semua lapisan masyarakat.
Dalam bidang hukum dan perundang-undangan, MUI sudah melakukan kajian intensif, yang hasilnya diserahkan kepada pihak terkait sebagai kontribusi MUI kepada pihak pemerintah (eksekutif) maupun DPR (legislatif) dengan disertai kajian akademis tertulis maupun lisan untuk kemaslahatan masyarakat luas. Bahkan, sejak jaminan produk halal (JPH) ini diundangkan, animo masyarakat untuk menyambutnya semakin tinggi, hatta di perguruan tinggi, termasuk 'Halal Center' yang sudah diresmikan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) medio Ramadhan lalu.
Kerja sama dengan berbagai pihak dalam maupun luar negeri terjalin baik sehingga MUI mendapat kepercayaan dari negara-negara Muslim lain. Bahkan, negara non-Muslim pun memberikan kepercayaan kepada Indonesia sebagai 'rujukan' dalam masalah halal food. Sebagai institusi yang mandiri dan independen, dengan segala kekurangannya MUI terasa sudah cukup memberikan yang terbaik dalam melayani masyarakat selama ini.
Dukungan dari berbagai pihak untuk membesarkan wadah musyawarah ulama (dari berbagai ormas Islam ahlussunnah wal jamaah), umara, dan cendekiawan Muslim ini—agar bisa memberikan kontribusi yang lebih besar kepada bangsa dan negera ke depan. Memang tidak semua yang kita inginkan dapat terwujud, tapi percayalah MUI akan mewujudkan yang menjadi keinginan mayoritas elemen masyarakat ini untuk tujuan keharmonisan material spiritual secara nasional menuju Indonesia aman, sentosa, makmur, dan beradab.
Akhir Agustus depan, MUI akan melaksanakan musyawarah nasional (munas) di Surabaya. Semoga MUI sebagai perkumpulan ulama waratsatul anbiya (ulama pewaris Nabi) akan mampu mengemban amanat yang semakin berat, tapi terhormat ini. Memang secara kuantitatif Indonesia tidak kekurangan ulama, tetapi secara kualitatif masyarakat masih kekurangan ulama yang memiliki komitmen kuat untuk mewujudkan cita-cita ulama terdahulu, yang menjadikan umat Islam sebagai umat wasathan (moderat) yang berwibawa.
Oleh karena itu, konsep Islam rahmatan lil alamin harus diletakkan pada proporsinya bahwa nilai-nilai universal Islam adalah kontribusi moral spiritual terbesar bagi peradaban dunia saat ini yang sudah semestinya diapresiasi. Dirgahayu 40 tahun MUI. Barakallah, ma’annajah, insya Allah.
*Sumber: ROL