Oleh: Ikhwanul Kiram Mashuri
‘’Apalah arti sebuah nama?,’’ kata sastrawan Inggris William Shakespeare. ‘‘Meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum.’’
Namun, bagi Abu Bakar al Baghdadi, nama adalah sangat penting. Ia seperti merek dagang sebuah produk. Ia adalah alat untuk propaganda atau promosi (ad di’ayah). Karena itu, dua tahun lalu, atau tepatnya pada April 2013, ia pun merasa perlu mengubah nama kelompoknya menjadi ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah. Ia juga mendeklarasikan dirinya sebagai Sang Khalifah dengan sebutan Amirul Mukminin.
Pers Barat pun ramai-ramai menggunakan nama Islamic State of Iraq and Syria sebagai terjemahan dari nama kelompok teroris al Baghdadi itu, yang kemudian dipendekkan (disingkat) menjadi ISIS. Penggunaan nama ini kemudian diikuti oleh media masa di berbagai negara, termasuk di Indonesia.
Penggunaan nama Negara Islam di Irak dan Suriah oleh media di berbagai negara tentu sesuai dengan keinginan Abu Bakar al Baghdadi. Mereka ingin memanfaatkan media, terutama media sosial, sebagai alat propaganda. Dengan nama itu, mereka seolah-olah merupakan pembela Islam terdepan di seluruh dunia untuk melawan orang-orang kafir, melawan hegemoni Barat, membela Arab Suni melawan Syiah, membela bangsa Arab melawan penguasa lalim, dan seterusnya. Namun, seiring jalannya waktu yang terjadi justru sebaliknya.
Faktanya, yang mereka lawan atau dianggap musuh bukan hanya orang-orang yang dicap sebagai kafir, non-Muslim, dan kelompok Syiah. Banyak orang-orang Islam, bahkan dari kelompok Suni sekalipun, yang mereka perangi dan mereka bunuh. Sejumlah bom bunuh diri yang mereka lakukan di Libia, Tunisia, Mesir, Gaza, dan terakhir di Turki, yang menjadi korban kebanyakan adalah orang-orang Islam Suni.
Karena itulah berbagai media Arab sejak awal menolak menggunakan nama ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah, Islamic State of Iraq and Syria, atau bahkan ISIS. Menurut mantan Presiden Direktur Stasiun Televisi ‘Al ‘Arabiyah’, Abdurrahman al Rasyid, sejak awal media-media Arab telah menggunakan nama Da’isy untuk menyebut kelompok al Baghdadi, termasuk televisi yang ia pimpin itu.
Da’isy merupakan huruf awal atau singkatan dari ad Daulah al Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah. Namun, karena dalam bahasa Arab tidak dikenal yang namanya singkatan, media Barat pada awalnya menganggap nama itu sebagai ejekan untuk kelompok Abu Bakar al Baghdadi itu, sehingga mereka tidak ikut memakainya.
Al Baghdadi sendiri, menurut stasiun televisi ‘Al ‘Arabiyah’, menolak penggunaan nama Da’isy. ‘’Ia (al Baghdadi) menganggap nama itu sebagai penghinaan, karena tidak ada singkatan dalam bahasa Arab,’’ kata al Rasyid yang juga mantan pemimpin redaksi media al Sharq al Awsat. Saking marahnya al Baghdadi dengan sebutan nama itu, ia pun pernah memerintahkan mencambuk seorang anak yang menyebut negaranya dengan Da’isy.
Dalam sejarah kelompok garis keras, persoalan mengenai nama bukanlah baru sekarang ini terjadi. Sebelum 14 abad lalu, umat Islam juga sudah dipusingkan dengan kelompok seperti ISIS sekarang ini. Yaitu ketika muncul sebuah kelompok yang mengafirkan umat Islam lainnya dan tidak mengakui negara yang sah. Mereka menamakan diri sebagai Jama’atul Mukminin. Namun, umat Islam menyebut mereka sebagai al khawarij, yaitu kelompok radikal yang keluar dari mainstream Islam.
Kini sejarah terulang kembali. Sekarang ini kita dihadapkan pada persoalan ideologi yang tidak mungkin dilawanhanya dengan perang bersenjata. Ideologi harus dihadapi dengan ideologi. Termasuk dalam masalah ideologi ini adalah penggunaan nama. Nama yang baik, seperti nama-nama yang terkait dengan Islam, tidak dibenarkan bagi mereka yang menyandangnya berperilaku dengan yang bertentangan dengan nama itu.
Namun, dengan munculnya Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS, nama-nama yang berhubungan dengan Islam pun ikut tercoreng. Misalnya penyebutan Islami, ekonomi Islam, partai Islam, busana Muslim/Muslimah, syariah, halal, sesuai syariat, gaya hidup Muslim, dan seterusnya. Penggunaan nama-nama ini, terutama di negara-negara berpenduduk mayoritas non-Muslim, bisa berkonotasi negatif.
Bagi ISIS, eh, Da’isy, penggunaan Negara Islam jelas mempunyai tujuan. Pertama, dengan membawa nama sebagai Negara Islam, mereka akan lebih mudah mempengaruhi (baca:merekrut) anak-anak muda untuk bergabung dengan mereka. Istilahnya, berjihad fi sabilillah. Bila mati, maka surga dan bidadari akan menanti. Siapa tidak kepincut? Kedua, untuk mumunculkan Islam phobia alias kebencian kepada Islam dan umat Islam di masyarakat non-Muslim seperti di negara-negara Barat.
Dengan mengaitkan antara Islam dan aktivitas kelompok-kelompok radikal/teroris akan segera memberi kesan kepada masyarakat non-Muslim di seluruh dunia bahwa Islam dan umat Islam identik dengan teror dan kekerasan. Pelaku kejahatan sungguh mudah untuk diidentikkan dengan agama, suku, warga negara, atau agama tertentu seperti yang terjadi pada Da’isy. Dan, hal inilah yang diinginkan oleh al Baghdadi dan kelompoknya. Tujuannya untuk menebar teror dan ketakutan di tengah masyarakat non-Muslim.
Abu Bakar al Baghdadi dan kelompoknya tampaknya paham betul psikologi umat Islam kebanyakan. Yakni, segala hal yang terkait dengan sebutan Islam akan segera menarik emosi mereka. Mereka – al Baghdadi dan kelompoknya – paham betul bahwa mayoritas umat Islam adalah orang-orang baik. Mereka orang-orang yang sederhana, namun kurang pengetahuan dan wawasan. Mereka anak-anak muda yang sedang mencari identitas dan eksistensi. Bisa saja mereka percaya bahwa ISIS berjuang untuk Islam karena menamakan diri sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah serta menggunakan bendera bertuliskan ‘Allahu Akbar’.
Orang-orang yang terlibat dengan Da’isy adalah sangat pandai. Mereka telah dan terus bekerja keras untuk membangun imej di seluruh dunia, bahwa mereka mewakili Islam dan umat Islam. Mereka paham betul psikologi masyarakat yang menjadi sasaran. Degan mendeklarasikan kolompok mereka sebagai negara atau khilafah Islamiyah akan mudah mendapatkan respon positif dari umat Islam.
Karena itulah al Baghdadi dan kelompoknya selalu menyebut negara mereka secara lengkap sebagai Negara Islam di Irak dan Suriah alias ISIS. Dan, pada gilirannya, tanpa susah payah, media akan ikut menyebarkan serta mempromosikan Negara Islam mereka ke seluruh dunia, ketika menyebut negara mereka adalah negara Islam.
Inilah yang tampaknya membedakan Da’isy dengan organisasi-organisasi teroris lainnya. Alqaida misalnya, tidak pernah memikirkan dampak dari psikologi simbol. Tidak juga peduli dengan brand atau merek.
Jadi, apakah kita akan ikut mempromosikan organisasi teroris al Baghdadi dan kelompoknya dengan menyebut Negara Islam di Irak dan Suriah alias Daulah Islamiyah fi al Iraq wa as Suriyah atawa Islamic State of Irak and Syria atau ISIS?
Sumber: ROL