Tragedi Tolikara Papua di Hari Idul Fitri 1436 H pada Jumat (17/7) lalu diduga melibatkan campur tangan pihak asing.
“Dengan adanya banyak cabang organisasi para pelaku, bahkan adanya jaringan di luar negeri maka dimungkinkan jaringan ini telah dan akan berkontribusi untuk melakukan perilaku teror,” kata peneliti terorisme Indonesia Crime Analyst Forum (ICAF), Mustofa B. Nahrawardaya, Sabtu (25/7), dilansir ROL.
Ia menambahkan, bahkan bisa terjadi tindakan terorisme pada waktu dan tempat berbeda di waktu mendatang. Untuk itu, ia berpendapat jika tidak dihentikan dari awal, maka Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berpotensi menjadi organisasi teroris besar seperti Al Qaeda atau Jamaah Islamiyah.
“Tidak mungkin para pelaku teror lapangan bekerja tanpa pendanaan. Banyaknya massa, adanya minyak, adanya pemantik api, adanya peralatan sound system, adanya gerakan massa merusak bahkan keberanian melakukan teror di depan markas militer, sangat mungkin didorong oleh adanya unsur pendanaan untuk melakukan teror,” jelas Mustofa.
Terkit hal tersebut, menurutnya, perilaku kekerasan berupa pembakaran yang terjadi di dekat Koramil membuktikan para pelaku dan sutradaranya terbukti secara brutal melakukan penghinaan terhadap negara. Terlebih, kata dia, penghinaan tersebut juga melecehkan simbol negara tanpa rasa takut.
Diketahui, tragedi penyerangan umat muslim di Tolikara saat sedang melaksanakan sholat Idul Fitri berujung dengan adanya pembakaran kios dan masjid Baitul Muttaqin di dekat Koramil.
Pihak kepolisian sudah menangani dan menengkap dua orang yang diduga berperan dalam insiden tersebut, namun aktor intelketualnya masih belum ditangkap.
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jendral Badrodin Haiti mengatakan pihaknya masih belum mengetahui siapa aktor intelektual di balik kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua, yang terjadi pada hari raya Idul Fitri jumat dua pekan lalu itu.
"Indikasinya apa yang terjadi di Tolikara ada aktornya, tapi masih kami selidiki," katanya di Bangkalan, Sabtu, 25 Juli 2015.