Difitnah "Wahabi", Imam Masjid Tolikara Ternyata Warga NU Biasa Tahlilan


Alawi Nurul Alam, pada 21 Juli 2015 menulis di wall facebooknya sebagai berikut (lihat gambar):

Assalamualaikum wr. Wb.
Baru saja saja menelfon ke kawan kyai NU saya yg berada di dekat Torikala (yg benar Tolikara –red) Papua untuk menanyakan kejadian sebenarnya. Dan beliau mengatakan bahwa di Torikala (salah lagi, harusnya Tolikara –red) tidak ada komunitas NU apalagi Syiah, yg ada di dana adalah komunitas Wahabi Hidayatullah yg semenjak mereka berada di sana sudah sering terjadi gesekan dengan penduduk asli Papua dan akhirnya terjadilah seperti sekarang ini. Hal ini menjadi bukti bahwa Wahabi dimanapun berada selalu menjadi awal peperangan, dan semua aktifitas wahabi Hidayatullah diback-up oleh PSK\HTI (waduh, PKS disebut “PSK” –red). Itulah berita yang bisa saya dikabarkan saat ini. Mohon di share

***

Ditengah keprihatinan atas Tragedi Tolikara yang menimpa Umat Islam Papua, masih saja ada yang tega memfitnah mereka. Bukannya galakan solidaritas dan bantuan untuk muslim Tolikara, Alawi Nurul Alam malah menebar fitnah.

Namun, fitnah ini terbantahkan oleh penuturan imam Masjid Baitul Muttaqien Tolikara, Haji Ali Muktar (38) saat diwawancarai oleh reporter Hidayatullah.com pada Rabu (22/3) kemarin.

Berikut kutipan pernyataan saat diwawancarai reporter Hidayatullah.com.

RABU (22/07/2015) ini adalah hari kelima bagi Ustad H. Ali Muktar (38) dan warga Muslim, Karubaga Kabupaten Tolikara bertahan di pengungsian. Aksi serangan kelompok perusuh saat hari Raya Idul Fitri, Jumat (17/07/2015) lalu, masih menyisahkan luka mendalam bagi korban.

Ali Muktar  adalah salah satu imam Masjid Baitul Muttaqien Tolikara, sekaligus salah saksi dalam aksi penyerangan kelompok perusuh yang berakibat pembakaran kios dan masjid. Di bawah ini, obrolan hidayatullah.com dengannya.


Apakabar Pak Ali?

Alhamdulillah, baik pak

Apasaja kegiatan Masjid Baitul Muttaqien sebelum dibakar?

Ya banyak. Yang jelas, shalat jamaah tiap hari, pengajian rutin, peringatan hari besar Islam, peringatan Maulid Nabi, pengajian umum hingga pembinaan anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran (TPQ).

Bulan Ramadahan ini, kami mendatangkan penceramah dari Jawa. Di sini ada kesepakatan, tiap Ramadhan mendatangkan penceramah secara bergantian dari berbagai daerah di Indonesia. Tahun lalu dari Sulawesi.

Selain itu kegiatan kegamaannya apa lagi?

Alhamdulillah, kita ada majelis ta’lim ibu-ibu yang digabung dengan ibu-ibu Bhayangkari (organisasi persatuan istri anggota Polri). Selain itu ada tahlil di rumah-rumah tiap hari Jumat dan tiap bulan sekali di masjid.

Memang kalau Subuh kebiasaan di sini pakai qunut atau tidak?

Saya biasa pakai. Tapi di sini ukhuwah tinggi pak. Karena kami mungkin pendatang dan kaum Muslim datang dari berbagai kalangan. Jadi kami tak pernah mempersoalkan qunut atau tidak. Sebagai imam saya biasa pakai qunut, tetapi banyak juga makmum tidak ikut, ya tidak masalah.

Bapak sendiri latar belakang pendidikannya apa?

Saya tidak memiliki latar belakangan nyantri. Hanya mustami’in biasa. Keluarga saya Nahdhatul Ulama (NU), ibu saya Musyawaroh (asli Lumajang) sedang bapak Hendri J Karaeng (asli Makassar). Ayah bekerja di Tanjung Perak, tetapi saya banyak dibesarkan di desa Pusrwosono,Kecamatan Sumber Suko, Lumajang. Sejak kecil saya terbiasa diajak orangtua berkunjung ke pesantren. Itu saja yang menjadi bekal saya.

(Wawancara selengkapanya: http://ift.tt/1GFra0M)