Seorang warga dari Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya, Wamena, Hamka Yeni Pele mengakui susahnya mendirikan ibadah kaum Muslim di wilayah Papua.
Hamka menceritakan, tahun 1990-an beberapa orangtua dari warga asli Papua, di Distrik Walesi, Kabupaten Jayawijaya memeluk agama Islam, namun mereka justru ditangkap dan dipenjarakan karena berusaha membangun mushola.
“Bahkan, sebetulnya hal itu sudah terjadi sejak 1970-an,” ujar Hamka Yeni kepada rombongan Tim Pencari Fakta (TPF) Komite Umat (KOMAT) Tolikara bersama anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bersilaturahmi serta berkoordinasi di rumah putra kepala suku Dani, H. Arif Lani, di Kabupaten Jayawijaya, ibukota Wamena, Rabu (22/07/2015) malam.
“Termasuk bapak saya sendiri, waktu itu. Alasan mereka masuk Islam karena itu sebuah pilihan. Jadi, sebetulnya tidak ada masalah bagi yang mau memeluk agama Islam,” ungkap Hamka.
Sekitar 2003-an, kata Hamka lagi, orangtua juga ada wacana ingin membangun mushola di Distrik Walesi setelah tahun-tahun sebelumnya belum pernah berhasil. Tetapi, lanjutnya, hal serupa itu juga terjadi sebagaimana tahun 1990-an tersebut, yakni mereka juga ditangkap dan dipenjarakan.
“Itu kondisi di sana. Sejak 2003 sampai detik ini, kami belum punya tempat ibadah semacam itu,” ungkap Hamka.
Hamka menegaskan bahwa setiap hari minggu di mana jemaat Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) sedang beribadah maka seluruh aktifitas perekonomian warga harus dihentikan sementara dan kios-kios harus ditutup.
“Memang kondisinya seperti itu. Itu tidak hanya berlaku di Kabupaten Jayawiya, tetapi berlaku juga di Kabupaten Jayapura,” tegas Hamka.
Hamka menambahkan bahwa untuk Kabupaten Jayawijaya kondisi seperti itu berlaku sejak pagi hingga pukul 17.00 WIT. Sementara, lanjutnya, untuk Kabupaten Jayapura berlaku sejak pagi hingga pukul 12.00 WIT.
“Pukul 13.00, di mana orang pulang ibadah dari gereja. Setelah itu, aktifitas perekonomian boleh dilakukan. Dan itu akan merambah ke kabupaten lainnya di Papua,” kata Hamka.
Bahkan, lanjutnya, di beberapa daerah seperti di Lanijaya (salah satu kabupaten hasil pemekaran di wilayah Papua, red), itu pembangunan masjid tidak pernah diperbolehkan sama sekali.
“Kami tidak boleh membangun masjid. Mereka (non-Muslim, red) bilang ‘kalau umat Islam mau beribadah cukup di rumah-rumah saja’. Semacam itulah yang kami alami di sini,” tandas Hamka.*/Achmad Fazeri
Sumber: Hidayatullah