Tersangka insiden pembakaran kios dan masjid di Tolikara menyerahkan diri secara sukarela kepada pihak kepolisian. Kedua tersangka dijemput oleh tim khusus Polres Jayawijaya, Wamena, Papua, pada Kamis malam, 23 Juli 2015.
Berdasarkan informasi yang dihimpun VIVA.co.id, kedua tersangka yang berinisial JW (31) dan AK (26), dijemput oleh sekitar 30 personel tim khusus yang dipimpin oleh Kompol I Gede Adhinata dari Tolikara ke kantor Polres Jayawijaya sekitar pukul 21.30 malam melalui jalur darat.
Tersangka JW diketahui adalah seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pemda setempat, sementara AK merupakan pegawai salah satu bank di Papua. Keduanya saat ini ditahan di ruang tahanan Polres Jayawijaya.
Rencananya, pukul 08.00 WIT keduanya akan diterbangkan ke kantor Polda Papua di Jayapura untuk diproses lebih lanjut. Namun, hingga saat ini belum jelas apakah sudah diberangkatkan atau belum.
Pantauan VIVA.co.id, sejak pagi ini tadi, sejumlah orang yang diketahui dari Gereja Injili di Indonesia (GIDI) berada di Bandara Wamena untuk memantau proses itu.
Sekretaris Badan Pekerja GIDI Wilayah Tolikara, Marthen Jingga, menyarankan pihak Kepolisian tidak melanjutkan proses hukum yang sedang berlangsung. Hal tersebut dikhawatirkan malah akan memicu konflik yang sudah damai saat ini.
"Sudah diselesaikan secara adat dan sudah saling memaafkan. Kalau masalah diungkit, tetap jadi tersangka, malah membuat tidak aman. Jadi kita tutup saja," ujar Marthen, Jumat 24 Juli 2015.
Hukum adat dipegang kuat di daerah Tolikara. Karena itu dia menyarankan masalah ini diselesaikan melalui hukum adat.
Namun, pihaknya sedang mencari solusi untuk implementasi hukum adat tersebut. Sebab, berdasarkan hukum adat yang berlaku, perdamaian konflik dapat diselesaikan dengan cara memotong babi.
"Seharusnya potong babi, tapi kan saudara muslim kita tidak makan babi, tapi cari sapi kan susah," tuturnya.
Lebih lanjut dia mengaku menyesalkan respons masyarakat luas yang hanya mempermasalahkan surat edaran sebagai pemicu konflik ini. Karena saat ini menurutnya yang terpenting adalah perdamaian, sehingga keamanan umat beragama di daerah tersebut dapat kembali kondusif.
"Surat edaran itu benar, tapi itu yang dibesarkan. Kami sudah damai dan saling merangkul, kalau dibesarkan itu jadi tidak aman, kalau diperdebatkan lagi perdamaian tidak bisa 100 persen," ungkapnya.
Sementara itu, tokoh muslim Tolikara, Ustaz H. Ali Muktar, mengaku menyerahkan penanganan kasus ini ke aparat penegak hukum. Menurutnya, kasus ini sudah menjadi sorotan internasional, sehingga penanganannya harus tepat.
"Masalah hukum itu kewenangan aparat. Kasus Tolikara ini sudah internasional bukan nasional, proses hukum sesuai aturan," katanya. (ase)
Sumber: http://ift.tt/1MsueFJ
***
Kalau masalah pelanggaran seperti ini yang sudah merugikan ratusan warga, puluhan rumah dan kios ludes, masjid dibakar, milyaran rupiah kerugian... kalau hal seperti ini tidak ada penegakkan hukum, maka akan jadi alasan mereka-mereka yang akan lakukan kejahatan serupa. Justru ini akan merugikan semua pihak, bukan saja muslim yang sekarang jadi korban di Tolikara. Pembiaran hukum akan melahirkan chaos dan main hakim sendiri. Dan tak akan ada kedamaian tanpa penegakkan hukum.