Yunani Lalu China, Kini Giliran Asia Tenggara Menanti Tsunami Moneter


Krisis utang pemerintah Yunani dan jatuhnya pasar saham China sempat memicu perhatian dunia, namun yang mesti lebih diperhatikan adalah perubahan terbaru di Asia Tenggara, yang membuat pasar panas dingin mencermati situasi mengkhawatirkan posisi moneter regional tersebut,

Rupiah Indonesia, misalnya telah jatuh untuk tahun keempat, dan baru-baru ini turun menjadi 13.300 terhadap satu dolar AS, yang membuat pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan sangat keras dengan melarang penggunaan mata uang asing, termasuk dolar AS, dalam semua perdagangan yang dilakukan oleh perusahaan domestik.

Cara mengatasi kerentanan moneter ala Indonesia bisa dimaklumi,  bahkan cara cara lain coba ditemukan, salah satunya perusahaan domestik di seluruh Asia, juga mengusulkan rencana untuk menaikkan batas utang mereka dengan menaikkan jumlah penerbitan utang luar negeri.

Namun mata uang Asia yang terdepresiasi, yang pada akhirnya menggelembungkan besaran utang luar negeri di tengah pertumbuhan ekonomi yang stagnan, menjadi peringatan bagi pasar keuangan.

Fluktuasi pasar di Asia Tenggara saat ini masih dalam rentang normal. Baht Thailand turun 4,6% dari 16 April sampai 3 Juli masih dalam kisaran yang wajar, sementara pasar saham Thailand adalah relatif stabil.

Mata uang Malaysia, yang dipatok dengan dolar AS,
baru saja stabil, sementara indeks pasar saham yang anjlok 9% dari April 16 hingga awal Juli. Selama periode yang sama, pasar saham Filipina jatuh 10%, sedangkan indeks saham Singapura turun 7%.

Yang membingungkan adalah Indonesia, yang mata uangnya mengalami depresiasi tajam, mengumumkan akan meminjam lebih banyak, dalam rencana untuk meminjam US $ 38 miliar utang luar negeri selama lima tahun ke depan untuk infrastruktur.

Kecenderungan meningkatnya utang luar negeri di Asia Tenggara mirip dengan perusahaan Cina, yang telah mengeluarkan hampir US $ 40 miliar utang luar negeri pada semester pertama tahun lalu. Jika utang luar negeri bank China dan utang luar negeri negara digabungkan, maka pada tahun lalu jumlahnya akan melebihi US $ 1,1 triliun merebut posisi teratas di antara negara-negara berkembang pasar.

Saat Federal Reserve AS mulai menaikkan suku bunga utamanya pada kuartal ketiga, sulit untuk menghindari efeknya terhadap perekonomian Asia.

Namun, Bank Indonesia telah meluncurkan paket paket pengendalian mata uang asing sejak 1 Juli, dan itu dipandang sebagai salah satu cara untuk melakukan transaksi keuangan domestik lebih sehat. Namun juga memicu kekhawatiran apakah putaran lain dari kontrol modal akan muncul di tempat lainnya?

Melihat pasar keuangan Asia di babak kedua, volatilitas takkan terelakkan. Stabilitas keuangan di Asia Tenggara bisa menjadi korban pada kenaikan The Fed.***Red (Chinapost)

Sumber: fiskal.co.id




Related Posts :