Mas Gagah Di Negeri Baabullah | oleh Salim A. Fillah


“..Dia bersuara lirih, bicaranya halus, dengan keanggunan sikap seorang sultan dan kegagahan seorang pejuang di antara bangsanya..” -Sir Francis Drake, 3 November 1579-

Laksamana Inggris terkemuka ini sedang menggambarkan perjumpaannya dengan sang singa Ternate yang menyembunyikan kukunya, Sultan Baabullah Datu Syah.

Sembilan tahun sebelumnya, sebakda Ayahandanya (Sultan Khairun Jamil) dibunuh dengan keji dalam jamuan tipu-tipu di Benteng Sao Paulo oleh Portugis; Kaicil Baab (nama muda Sultan Baabullah Datu Syah) mengaumkan sumpah Soya-Soya, janji jihad habis-habisan di bawah panji Islam untuk mengusir bangsa kafir yang aniaya dari tanah airnya.

Dalam tahun-tahun berikutnya, 2000 armada kora-kora dan juanga-nya mengangkuti 120.000 pasukan dipimpin para panglimanya; Raja Jailolo Katarabumi, Salahakan Sula Kapita Kapalaya, Salahakan Ambon Kapita Kalakinka, dan Kapita Rubuhongi melayari lautan menghantam setiap kedudukan Portugis di timur Nusantara. Benteng Tolucco, Santa Lucia, dan Santo Pedro segera bertekuk lutut. Benteng Sao Paulo tempat si penjahat perang Gubernur Lopez de Mesquita tinggal dikepung dengan beradab hingga seluruh bangsa Portugis pergi tanpa disakiti dengan merasa rendah diri di tahun 1575.

Baabullah, sang penguasa 72 jazirah yang membentang dari Sulawesi Utara, Tengah, dan Tenggara di barat hingga wilayah kepala burung Irian dan kepulauan Marshall di timur; dari kepulauan Kei-Nusa Tenggara di selatan hingga Mindanao di utara; mendakwahi I Tunijallo Raja Gowa, membangun persekutuan kokoh dengan Demak dan Aceh untuk menjaga Nusantara dari Imperialisme Barat. Benteng jihad yang dirintisnya bertahan hingga lebih dari 100 tahun kemudian.

Baabullah, saya mengenang dan mendoakannya di Ngade, di atas danau yang digendong lereng Gamalama, dengan Pulau Tidore dan Maitara seakan mengapung di laut belakangnya. [foto atas -red]

Lima hari dalam pekan ini, saya memang diperjalankan Allah menghirup keharuman cengkeh dan pala di tanah Baabullah. Tak terhindari, sambutan warganya yang lebih hangat dari air guraka, lebih manis dari talam sagu, dan lebih lekat dari nasi jaha serasa memeluk hati.

Ah semua ini, karena sebuah janji.

Suatu hari di tahun 1999, saya membaca novelet 'Ketika Mas Gagah Pergi' di perpustakaan Rohis Al Uswah, SMA Negeri 1 Yogyakarta. Saya akan kesulitan menjawab jika ditanya kesan atas kisah apik ini. Mungkin tak sedahsyat rekan-rekan pembaca lain yang berubah hidupnya, tapi ada hutang tak terbayar yang harus saya akui.

'Ketika Mas Gagah Pergi' membantu saya mengerti bahwa Allah memberi hidayah bagi siapapun yang dikehendakiNya dengan jalan yang sering di luar rencana para da’i. Ia menunjukkan dengan jernih betapa Allah menghargai setiap langkah kecil yang diayun menujuNya; yang bagi satu dan lain orang bisa berbeda kerumitannya.

Memahami dan menghargai proses hijrah seperti terkisah tentang Gagah, Gita, ataupun Nadia, telah membantu saya untuk merumuskan bahasa dakwah dalam tulisan dan penyampaian saya selama ini.
Pemahaman seperti itu yang membuat tajuk buku saya selama ini disusuni kata semacam “Nikmatnya Pacaran Setelah Pernikahan” dan bukan “Hukum Pacaran dalam Islam”; “Agar Bidadari Cemburu Padamu” dan bukan “Kemuliaan Wanita dalam Syari’at”; serta “Dalam Dekapan Ukhuwah”, dan bukan “Asas-asas Persaudaraan”.

Proses hijrah adalah tentang hati. Hati sering bukan luluh oleh argumentasi, melainkan cinta yang terasa dengan menunjukkan pada sesama bahwa kita mau mengerti.

'Ketika Mas Gagah Pergi', bagi saya, adalah tentang bagaimana seharusnya menghadirkan hati dalam mengabdi pada Allah dan menggamit sebanyak-banyak hati dalam pengabdian itu.

Semua hutang pemahaman ini mengaliri darah saya dalam berkarya hingga ketika sang penulis, Yunda Helvy Tiana Rosa, menceritakan semangatnya untuk menjadikan novelet itu film dakwah dengan segala idealismenya, lisan saya kelu untuk menolak permintaan janji membantunya.

Ketika itu, beberapa tahun lalu, saya tak tahu bagaimana harus membantu.

Sebelas tahun menunda produksi karena tak adanya PH (Production House) yang dirasa sevisi; menolak para pemodal besar demi mempertahankan bagian cerita tentang Palestina; dan rela berpayah-payah berkeliling negeri untuk menggalang patungan crowd-funding, yang barangkali satu-satunya untuk pembuatan film; telah mencekamkan malu di hati pada Yunda Helvy, dan meyakinkan saya akan kesungguhan idealismenya.

“Dek, sepuluh tahun lalu kamulah tokoh Yudi!”, begitu yang sering diulangnya. Dengan sangat serius, direkanya seorang tokoh pelengkap bagi cerita bernama Kyai Ghufron, kakak Yudi, sekaligus jalan hidayah yang mengubah hidup Mas Gagah. Dengan sungguh-sungguh dia katakan, “Dek, kamu harus berperan!”

Saya tercekat dalam diam, selama lebih dari dua bulan.

Begitu banyak pertimbangan yang harus saya renungkan. Dunia film betul-betul sesuatu yang asing, dengan segala citra dan konotasinya. Haruskah saya masuk? Haruskah saya membantu dengan cara seterlibat itu?

Saya harus membuka-buka ulang berbagai kajian fiqih tentang seni, menelaah lagi berbagai pendapat fuqaha’ tentang cerita fiksi, serta menggali-gali lagi pandangan dan keterlibatan para ‘ulama dalam hal semacam ini. Dan bersama itu semua, saya harus berulang-kali bertanya pada hati.

Begitulah, dengan bimbang dan jerih yang meningkahi istikharah, akhirnya saya terbawa ke Tanah Baabullah.

Agaknya saya harus memandang momen ini sebagai bagian dari tapak-tapak perbaikan diri saya sendiri. Saya harus menggunakan karakter Kyai Ghufron yang saya bawakan sebagai cermin. Dan alangkah masih jauh dan curamnya jalur pendakian yang harus saya tempuh untuk menjadi pengabdi ummat seperti Kyai Ghufron, seterjal mendaki Gunung Gamalama dengan berulangkali jatuh ke gravitasi kuat Danau Tolire.

Semua yang dilakukan Kyai Ghufron, cendikia kota yang membaktikan diri di pencilan Negeri Baabullah; di dalam lautnya, di pesisirnya, di ladang-ladangnya, di pesantren ber-laguna-nya, dan di hati penduduknya; semua yang menggosongkan kulitnya di bawah terik mentari timur (sehingga dia lebih hitam dari Yudi, adiknya, he he); banyak yang menjadi hal pertama dalam hidup saya. Semoga ia terukir dalam batin memandu pengabdian saya di kehidupan nyata selanjutnya.

Saya tahu tidak ada yang sempurna, bahkan dengan komitmen sekuat yang Yunda Helvy punya, Mas Fredy si penulis skenario, Mas Firmansyah sang sutradara, Hamas ‘Izzuddin Syahid sang hafizh yang bermain sebagai Gagah, hingga Mas Rohman yang setia menjadi panakawan para pemeran utama. Untuk urusan pengabdian mendasar kepada Allah-pun, kami semua masih harus lebih berupaya lagi mengikat hati, lebih semangat lagi mengenalkan, dan lebih keras lagi memberi teladan. Waktu yang tak panjang, membuat kami pasrahkan sisanya pada Allah Yang Maha Penyayang.

Ya, semua sedang berjuang menjalani perannya dengan komitmen terbaik, sembari menghargai proses tak mudah yang dijalani sesama kru.

Tapi menyaksikan semangat belajar Inoy sang pemeran Gita; akhlaq yang semanak dari Masaji si pemeran Yudi; terus berbenahnya Izza si pemeran Nadia; pinta buku dari Mas Jerry sang Astrada; bincang dengan Mas Ipung, Bu Ade, Teh Ratih, Mas Aziz(a), Mas Dondon, Mas Jaung, Mas Erik, Mas Panca, Pak Yono, Bu Tio, Dek Regy, Mas Yudha, juga wibawa Pak Monotz, Mas Adi, beserta senyum-canda awak-awak lain yang tak dapat saya sebut semua; saya terus menyalakan harapan bahwa tim ini kelak menjadi cahaya dunia perfilman kita; menghasilkan karya yang menginspirasi keshalihan bagi diri mereka dan penontonnya.

Saya akan terus berdoa, untuk mereka yang tertawa-tawa ketika saya cium tangan-tangan yang tapaknya kasar oleh keteguhan berkarya.

Dengan janji dan tekad film ini untuk menghibahkan Rp. 1 Milyar pendapatannya bagi pendidikan bocah-bocah di Indonesia Timur serta Rp. 1 Milyar pula untuk anak-anak Palestina; andalah kiranya para penonton semua, yang akan membantu wujudnya sosok-sosok Mas Gagah yang menyalakan kembali ruh jihad Baabullah, membebaskan Palestina.

Ya, dari Negeri Baabullah; sampai kita semua merapatkan kaki dan bahu dalam shalat jama’ah sebagai Mas Gagah-Mas Gagah, di bawah naungan kubah Masjidil Aqsha yang merdeka..

sepenuh cinta,
Penerbangan Ternate-Jakarta, 30 Oktober 2015

Salim A. Fillah