Antara Kasus E-KTP, SN, dan KPK Menjadi Mesin Politik Ahok


Ketika publik tidak dikejutkan dengan pernyataan Ketua KPK mengenai tidak ditemukannya unsur kasus korupsi pada kasus Sumber Waras, KPK kembali memberitahukan perihal kasus E-KTP yang konon katanya merugikan negara 2 triliun.

Pada 16 Juni lalu, Kasus E-KTP yang sudah dua tahun dan disebut terkait dengan Setya Novanto (SN) ini kembali mencuat (sengaja dimunculkan kembali). Waktunya sebelum Golkar memutuskan soal siapa yang akan diusung dalam Pilgub DKI.

Saat itu, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengatakan, kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis NIK (e-KTP), mencapai Rp 2 triliun. Kasus tersebut akan segera naik ke tahap penuntutan.

“Kami terima kerugian negaranya lebih dari Rp2 triliun dan perhitungan tersebut diperoleh dari Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” ujar Agus di gedung KPK, Kamis (16/06/2016).

Sebelumnya, dugaan KPK mengenai nilai kerugian negara dalam kasus ini sekitar Rp 1,12 triliun.

KPK telah dua tahun menangani kasus e-KTP.

Banyak pihak yang menyangka, pemaparan terkait kasus e-KTP oleh KPK sebagai pengalihan isu kasus Sumber Waras.

Namun, diluar pemikiran diatas, ada sebuah informasi yang mungkin harus kita simak, dengan dikaitkan pengungkapan kasus e-KTP setelah sudah lama tidak diungkapkan oleh KPK.

Kasus e-KTP itu ditengarai pesan politik KPK kepada SN ketua umum Partai berlambang pohon beringin. Diketahui oleh semua pihak; SN pernah disebut Nazarrudin terlibat dalam kasus e-KTP karena hubungannya dengan salah satu anak taipan dalam penyedian chip pada e-KTP.

Sempat ramai, ketika ketua KPK saat itu Abraham Samad, kini kasus e-KTP kembali menjadi ‘senjata’ KPK untuk mengarahkan seorang ketua umum partai untuk sebuah haluan politik memilih calon yang sudah di’pesan’.

Pada saat KPK mengungkapkan kasus e-KTP, waktunya bersamaan ketika partai berlambang pohon beringin tersebut sedang menentukan siapa calon Gubernur DKI yang akan diusung.

Dan tidak seperti biasanya, KPK tidak melanjutkan pengungkapan kasus e-KTP kembali didepan publik; hanya satu hari dan seolah hanya satu saat dibutuhkan untuk menjadi pesan; beda dengan pengungkapan kasus korupsi lain, yang bisa berhari hari menjadi headline media nasional, khusus e-KTP hanya satu hari tersebut KPK mengungkapkan.

Dan 'target' pesan seakan berhasil, sepekan setelahnya pada 24 Juni, Golkar secara resmi mendukung dan mengusung Ahok dalam Pilgub DKI 2017.

Kembali lagi, KPK menjadi mesin politik sebagai penyampai pesan politik kepada pemilik kekuatan partai politik yang ada.

Dengan kasus e-KTP, pesan kepada salah satu pemilik kekuatan partai politik untuk memastikan dukungan partainya kepada calon yang ‘diselamatkan’ oleh KPK.

Dan akhirnya bisa ditebak, sang pemilik kekuatan partai politik, akhirnya sepakat memutuskan untuk ‘menyelamatkan’ dan memberikan partainya untuk kendaraan politik salah satu calon Gubernur yang dipesan oleh penguasa pusat.

Itulah akibat KPK menjadi mesin politik, digunakan pada waktu yang tepat demi sebuah agenda yang sudah ditetapkan. (Adityawarman @aditnamasaya)

Sumber: lingkarannews