[ANALISA] Naiknya Rupiah, Jokowi dan Agus Marto


Oleh Canny Watae

Dua hari terakhir Rupiah menguat terhadap Dollar Amerika. Sebuah kondisi yang positif bagi bangsa ini. Di Medsos, segelintir pihak yang kita sebut saja “cheerleaders” , yaitu orang atau akun yang membela mati-matian Joko Widodo sebagai presiden, mulai sahut-menyahut mengaitkan kondisi baik ini dengan nama sang pujaan.

Akun-akun ini sebelumnya kehilangan kutik (tak berkutik) sejak Rupiah mulai merosot beberapa bulan lalu. Akun-akun ini adalah pihak yang begitu memimpikan kurs Rupiah berada pada level 10 sampai 11 ribuan per Dollar. Hasil dari “penipuan” intelektual media-media mainstream yang gencar mengabarkan bahwa Rupiah akan berada di level “impian” tersebut apabila Joko Widodo menjadi presiden.

Apa lacur, meninggalkan level 12 ribuan pun tak pernah tercapai sejak Joko Widodo dilantik. Alih-alih, Rupiah perlahan melemah dan puncaknya ketika China mendevaluasi mata uang Yuan, Rupiah langsung tergenjot ke bawah 14 ribuan. Pada puncak tertinggi-nya di grafik nilai tukar, Rupiah sempat bertengger di titik 14.828 per 1 Dollar beberapa hari lalu.

Melemahnya Rupiah “memakan” banyak korban. Mulai dari krisis utang Yunani sampai ketegangan 2 Korea. Berbagai macam alasan diajukan rezim ini untuk “lari dari tanggung jawab”. Penguatan ekonomi Amerika Serikat sebagai penerbit Dollar masih dapat kita terima sebagai penyebab menguatnya Dollar. Artinya, Rupiah menjadi turun nilainya terhadap mata uang tersebut. Bukan hanya Rupiah, berbagai mata uang lainnya, mayoritas adalah negara-negara berkembang, terlemahkan oleh menguatnya Dollar. Devaluasi mendadak mata uang China Yuan, juga dapat kita terima. Sebab, China sudah masuk jajaran negara dengan status ekonomi kuat dunia. China mencoba “mengoreksi” nilai mata uang mereka dengan harapan produk ekspor mereka akan terasa lebih murah di sisi pengimpor. Artinya: produk China akan lebih kompetitif dibanding produk negara lain. Ini strategi dagang sederhana. Harga nggak papa turun dikit, tetapi dagangan lebih banyak laku. Ujung-ujungnya tetap untung juga.

Faktor membaiknya perekonomian Amerika dan devaluasi Yuan oleh China pasti akan berpengaruh ke Rupiah kita, tetapi tidak semestinya sampai membuat Rupiah nyaris mendekati 15 ribu per Dollar. Ada faktor lain yang menjadi penyebab. Faktor leadership Negara ini. Faktor ini akan sangat berpengaruh pada capaian-capaian pembangunan negeri ini, yang dalam tahun 2014 lalu bernilai lebih dari 10 ribu Trilyun Rupiah (PDB).

Apakah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo dengan gaya dan cara mengambil keputusan level “Ndeso” benar-benar akan membuat pembangunan kita tahun ini bisa melebihi nilai tersebut? Jika tidak melebihi, berarti tidak ada pertumbuhan (kemungkinan besar para pelaku usaha mengalami kerugian usaha). Jika sama saja, berarti juga tidak ada pertumbuhan (para pelaku usaha tidak mendapat marjin apa-apa dalam upaya kerja setahun). Jika bisa lebih tinggi, itu pun setidaknya harus melebihi pertumbuhan 2014 lalu (5%), agar para pelaku usaha bisa merasakan pertumbuhan usaha yang lebih besar lagi dibanding tahun lalu. Nah, walaupun “Ndeso” itu bukan dosa dan tidak melanggar UU, itu bukanlah syarat cukup bagi seorang presiden untuk membawa maslahat bagi bangsanya. Rakyat kecil mungkin senang sekali dengan gaya pemimpin seperti itu. Tetapi, para penggerak ekonomi (pelaku usaha, pekerja profesional) tempat Rakyat kecil itu menerima upah kerja akan selalu menuntut HASIL. “Ndeso” tanpa HASIL KERJA tentu lebih buruk dan dihindari ketimbang “Necis perlente” yang memberi HASIL NYATA.

Nah, sesungguhnya pelemahan Rupiah yang cukup dahsyat beberapa minggu sebelum pekan ini lebih disebabkan oleh pertarungan antara Pasar dengan Leadership. Khususnya Leadership seorang Joko Widodo. Ada pun Bank Indonesia selaku otoritas Moneter kebagian repotnya. BI bekerja keras.

Coba tengok penurunan cadangan devisa kita. Besar sekali. Dalam 1 bulan saja (Agustus) cadangan devisa kita terkuras sekitar USD 2,2 Milyar. Sebagian besar digunakan untuk stabilisasi nilai Rupiah. Data akhir September belum keluar. Tetapi dapat diprediksi akan lebih tinggi lagi tingkat penurunannya mengingat terjadi “Battle for Rupiah” sepanjang September lalu.

Jika kita menikmati grafik kurs versi Bloomberg, terlihat jelas setiap mendekat atau melewati sedikit saja dari “level psikologis”, Rupiah langsung bangkit lagi (walau sesaat). Level psikologis adalah “patokan” tertentu, misalnya 13.800, 13.900, 14.000, 14.100, 14.200, dst. Angka-angka “strategis” seperti 13.500, 14.000, 14.500, dst memiliki nilai “psikologis” tersendiri. Kalau kita perhatikan grafik, tiap mendekati angka psikologis ini, apalagi kalau sampai bablas, maka Rupiah tiba-tiba “meloncat” naik lagi (walau sesaat). Ini menunjukkan BI sedang “menyiram” pasar dengan cadev kita. BI bekerja keras. Jelas.

Pekan lalu, Gubernur BI Agus Martowardoyo bersuara keras. Ia menyindir presiden (huruf kecil) agar tidak hanya memikirkan sisi popularitas (pencitraan) dari persoalan harga BBM (ada wacana untuk diturunkan, menyesuaikan harga pasaran dunia). Walaupun topik ini tidak langsung ke soal nilai tukar Rupiah (tetapi soalan harga BBM ini berpengaruh langsung ke daya beli masyarakat, ke sananya menjadi salah satu batu pondasi nilai tukar Rupiah), tetapi ini barang (auman Gubernur BI) berhasil membangkitkan efek psikologis yang positif pada para pelaku pasar. Setidaknya, pasar melihat ternyata masih ada Leadership, dan ini adalah leadership langsung pada jajaran otoritas Moneter, yang di pundaknya kepercayaan (trust) dapat diletakkan (A shoulder to rely on... Tommy Page kale’? hahaha)... Pasar langsung bereaksi positif. Pasar (ter)yakin(kan) auman Agus Marto. Pasar mulai merasa ada “wakil” mereka dalam menyuarakan ketidakpercayaan mereka pada leadership Joko Widodo.

Hasilnya bisa kita lihat 2 hari terakhir. Rupiah tiba-tiba perkasa. Siang menjelang sore ini berada di level 13.700-an. Padahal pekan lalu ia berada di level 14.700-an. Lompatan 1000 poin. Sekali Agus mengaum, 1000 poin terlampaui.

Saran saya, Joko Widodo dan terutama sayap parpol pendukungnya diam-diam aja dulu. Jangan bikin statement apa pun. Jangan bergaduh dalam internal rezim. Bekerja, bekerja, dan bekerja-lah... Jangan hanya berfoto-foto tunggal di lokasi kebakaran hutan, sawah, atau pun pinggir rel kereta. Itu sama sekali tidak berkontribusi pada perbaikan ekonomi kita. Dalam jangka singkat, sama sekali tidak membantu menaikkan nilai tukar Rupiah.

Terima kasih Agus Marto.

__
dari fb Canny Watae (07/10/2015)