Penilaian PKS: Plus Minus Kinerja Politik & Hukum Pemerintahan Setahun Jokowi-JK


Ketua DPP PKS Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Almuzzammil Yusuf menilai tingkat kepuasan masyarakat terhadap satu tahun Pemerintahan Jokowi-JK yang hanya 51,7 persen lebih rendah dibandingkan tingkat kepuasan satu tahun Pemerintahan SBY-JK dan SBY-Boediono yang mencapai 66%-70% menurut hasil survei independen.

“Ini harus jadi bahan introspeksi Pemerintahan Jokowi-JK. Kami telah melakukan kajian plus minus kinerja bidang politik dan hukum 1 tahun Pemerintahan Jokowi-JK dibandingkan Pemerintahan SBY.” Jelas Anggota DPR RI dari Fraksi PKS ini di kantor Saiful Mujani Research dan Consulting, Jalan Cisadane 8, Jakarta Pusat, Selasa 20 Oktober 2015.

Kinerja minus pertama, menurut Muzzammil, intervensi pemerintah dalam konflik internal partai Golkar dan PPP sangat kentara. Ini adalah kesalahan mendasar di bidang politik dan hukum Pemerintahan Jokowi-JK. Menteri Hukum dan HAM, tegas Muzzammil, seharusnya tidak boleh ikut campur dalam konflik internal PPP dan Golkar. Itu ranah Mahkamah Partai, Pengadilan dan MA.

“Putusan MA terakhir yang memenangkan kubu ARB dan Djan Farid sudah tepat. Kita harus apresiasi keputusan MA. Seharusnya Menkumham tidak boleh berpihak melainkan hanya menjalankan prosedur administrasi pengesahan partai politik berdasarkan UU Partai Politik. Pemerintahan SBY lebih moderat dan proporsional dalam menangani konflik internal partai” Terangnya.

Kedua, kata Muzzammil, Pemerintah Jokowi telah mengintervensi penegakan hukum. Sebagai contoh, pergantian Kabareskrim, Budi Waseso disaat sedang menangani kasus korupsi kondensat, penimbunan daging sapi, Pelindo II dan Pertamina Foundation.

“Seharusnya pejabat yang memiliki terobosan, kinerja baik, dan taat pada aturan dan tugas dipertahankan. Berikan kesempatan kepada yang bersangkutan untuk membuktikan secara transparan bahwa apa yang dilakukannya benar-benar untuk pemberantasan korupsi. Sehingga dengan itu dapat mengangkat citra Kepolisian sebagai penegak hukum.”Tegasnya.

Ketiga, terang Muzzammil, Pemerintahan Jokowi telah menunjukan konflik internal kabinet yang kontraproduktif. Perbedaan pernyataan yang mencolok antara Presiden dengan Wakil Presiden, Wakil Presiden vs Menko Maritim,  Menko Maritim vs Menteri ESDM terkait Freeport, dan Proyek Listrik 35000 MW seharusnya tidak terjadi.

“Kasus ini menunjukan lemahnya leadership Presiden Jokowi dalam mengelola internal kabinetnya. Hal ini belum pernah terjadi di seluruh kabinet reformasi sebelumnya.” Jelasnya.

Keempat, tidak harmonisnya hubungan Jokowi dengan partai pendukung utamanya. Terlihat ada tarik menarik kepentingan antara Jokowi dengan partai pendukungnya yang menyebabkan kepentingan publik terabaikan.

“Sebagai contoh kisruh dalam revisi UU KPK, pergantian Kapolri, dan program bela negara seharusnya tidak terjadi jika ada kesamaan sikap Presiden Jokowi dengan partai pendukug utamanya.” Terangnya.

Disisi lain, terang Muzzammil, kita juga perlu mengapresiasi terobosan kebijakan yang positif Pemerintahan Jokowi-JK. Diantaranya, kata Muzzammil, adalah kebijakan eksekusi mati terhadap bandar narkoba baik berasal dari WNI maupun WNA.

“Tujuannya untuk memberikan efek jera para bandar narkoba. Tidak boleh ada kompromi untuk para bandar. Presiden harus memimpin langsung pemberantasan bandar narkoba.” Tegasnya.

Selain itu, yang patut diapresiasi adalah penegakan hukum Pemerintahan Jokowi-JK dalam penenggelaman kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah perairan Indonesia.

“Ini harus kita apresiasi. Kebijakan ini melindungi kekayaan laut kita dan mempertegas kedaulatan hukum Indonesia dalam menerapkan sanksi terhadap setiap pelanggaran hukum yang terjadi di wilayah Indonesia,” paparnya.