Usaha Tempo Menyetankan HMI


Usaha Tempo Menyetankan HMI

Oleh Yons Achmad*
Pengamat Media

Saya bukan anggota atau alumni HMI. Tapi, membaca pemberitaan buruk terhadap HMI beberapa hari terakhir ini, meminjam istilah SBY, saya turut prihatin. Saya tidak akan menyoal tentang dana yang diterima HMI untuk kongres dari APBD Riau yang katanya jumlahnya sampai 3 milyar dari total dana kongres yang mencapai 7 milyar. Yang ingin saya persoalan adalah bagaimana usaha media untuk mencitrakan buruk HMI atau lebih tegasnya ingin menyetankan HMI.

Dalam kajian media, ini dinamakan dengan 'demonisasi' atau 'demonologi' alias usaha menyetankan kelompok tertentu. Usaha ini sebagai bentuk penggambaran atau pencitraan kelompok tertentu sebagai demon (setan, iblis, atau hantu) yang jahat (evil) dan kejam (cruel). Asep Syamsul M. Romli dalam bukunya 'Demonologi Islam, Upaya Barat Membasmi Kekuatan Islam' (GIP, 2000) menjelaskan bahwa istilah demonologi memang jarang sekali digunakan, bahkan hanya kamus-kamus bahasa Inggris tertentu yang memuat istilah tersebut. Kamus terkenal, Kamus Inggris-Indonesia karya John M. Echols dan Hassan Shadily (1976) misalnya, hanya memasukkan kata demon yang berarti (1) setan, iblis, jin, dan (2) orang yang keranjingan tentang sesuatu.

Namun begitu, kalau kita cermati lebih serius, usaha demikian sering betul dilakukan oleh media-media kita. Dalam kasus ini, kita ambil contoh kecil Tempo. Sebuah judul berita di Tempo (22/11/15) berbunyi begini “Rombongan HMI 21 Bus Mampir di Restoran, Makan, Lalu Kabur”. Di era media sosial sekarang ini, postingan berita dengan judul begini tentu sangat berpotensi memicu reaksi dari pembaca. Apalagi bagi mereka yang memang tak suka HMI. Laku, kenapa berita ini dipermasalahkan, bukannya memang kenyataannya begitu? Kita lihat.

http://ift.tt/1jffIVl

Pertama. Dalam berita ini sepertinya wartawan Tempo tidak turun ke lapangan atau misalnya menugaskan kontributor untuk menggali lebih jauh peristiwa tersebut. Yang ada, hanya mendapatkan keterangan saja atas kasus ini dari Kepala Kepolisian Resor Indragiri Hulu, Ajun Komisaris Besar, Ary Wibowo yang dihubungi Tempo, Ahad, 22 November 2015. Padahal, kalau mau dan Tempo pasti bisa melakukannya, kenapa tidak dilakukan, misalnya mewawancarai langsung pemilik atau perwakilan pihak restoran atau misalnya warga atau saksi-saksi yang sedang berada di sekitar lokasi. Tapi, bagi Tempo rupanya hal ini tak begitu penting.

Kedua. Tempo tidak konsisten. Dalam judul berita tertulis ““Rombongan HMI 21 Bus Mampir di Restoran, Makan, Lalu Kabur”. Namun di isi berita tertulis: Seorang pemilik restoran di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, mengalami kerugian Rp 12 juta setelah serombongan penumpang bus makan di restorannya tanpa membayar. Diduga rombongan itu adalah anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang akan mengikuti Kongres ke-29 di Pekanbaru. "Sebab di busnya ada tulisan 'rombongan HMI'," kata Kepala Kepolisian Resor Indragiri Hulu, Ajun Komisaris Besar, Ary Wibowo.

Disini Tempo memang punya frame untuk “menghajar HMI” lewat judul berita tak peduli benar atau tidaknya pelakunya anak-anak HMI, sementara di isi berita ditulis diduga. Kita tahu di media sosial kadang banyak orang hanya membaca berita saja, di Twit lalu dikomentari. Nah, dalam kasus ini, penulisan judul berita ala Tempo ini berpotensi menyesatkan pembaca. Mungkin ada yang bilang ini sepele. Oh tidak, bagaimana kalau nanti misalnya terjadi peristiwa terorisme, kita tentu paham antara pelaku dan diduga pelaku adalah dua hal yang berbeda.

Ketiga. Tidak berimbang. Dalam kasus ini Tempo hanya mengutip kisah dari Polisi saja, tidak berusaha misalnya melakukan konfirmasi atau wawancara dengan panitia kongres HMI. Dan ini saya yakin kalau Tempo mau pasti bisa dilakukan. Misalnya, kalau memang hal ini dilakukan, kita mungkin akan mendapat informasi, contohnya mungkin nanti panitia akan bilang “Kalau memang benar kader HMI melakukan itu panitia akan bertanggungjawab”. Tapi saya menilai, hal ini sengaja tidak dilakukan Tempo karena memang bingkai pemberitaan hanya fokus kepada menyoroti misalnya perilaku anak-anak HMI. Dan hasilnya pembaca berita Tempo akan berkomentar sinis dan nyinyir kepada HMI.

Beginilah wajah Tempo ketika memberitakan sesuatu yang “berbau Islam”. Akan selalu sinis dan seterusnya saya kira akan begitu. Tapi lagi-lagi, mereka, atas nama kebebasan ekspresi boleh-boleh saja memberitakan demikian. Tapi masyarakat juga tidak bodoh untuk melihat semua ini dengan kacamata kritisnya sehingga tidak akan mudah termakan penyesatan (opini) berita oleh media. Bagi kita yang masih berpikiran waras, terlepas dari isu dana 3 milyar APBD itu, tentu ada substansi kongres HMI yang bisa kita apresiasi. Hal penting yang seharusnya digali media, tapi tak pernah diberitakannya.[]

*Sumber: kanetindonesia.com