Nasib dan Tantangan PKS


Oleh Ribut Lupiyanto*

Isu reshuffle Kabinet Kerja Jokowi kembali mencuat. Isu ini lebih panas karena dibarengi oleh dinamika politik yang terkesan mencair. Perebutan kursi menteri menjadi tidak sekadar milik partai politik (parpol) Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Parpol oposan yaitu Koalisi Merah Putih (KMP) juga memiliki peluang lebar.

PAN paling awal merapat ke istana dan menyatakan dukungan ke pemerintah. Gelagat minta jatah menteri sulit dipungkiri meskipun ditepis pimpinannya. Partai Golkar kubu Agung Laksono sejak Pilpres mendukung Jokowi. Belakangan kubu Ical juga dikabarkan membidik kabinet. PPP kubu Romi sudah mendapat kursi melalui Lukman Hakim Saefuddin. PPP kubu Djan Faridz mengajukan Romi sebagai kandidat menteri jika bersedia islah. Terakhir PKS silaturahmi ke istana, meskipun ditegaskan PKS tetap akan menjadi oposisi loyal. Praktis hanya Gerindra yang belum bergeming di KMP.

Dari sekian manuver di atas, salah satu yang menarik dicermati adalah PKS. Hal ini mengingat PKS menjadi salah satu tulang punggung KMP selain Gerindra. Namun demikian pascapilres kepengurusan PKS berganti dan membuka peluang hadirnya strategi politik baru. PKS menghadapi tantangan dan dilema antara tetap opisisi masuk pendukung pemerintah. Strategi dan nasib PKS penting dicermati dan layak diteropong.

Capaian Politik

Pemilu 1999, PKS yang waktu itu masih bernama PK mendapatkan suara 1,36 persen (%). Suara PKS meningkat tajam pada Pemilu 2004 dengan 7,45%. Pada pemilu 2009, perolehan suara PKS tetap naik menjadi 7,88%. PKS pada pemilu 2014 lalu turun sedikit di kisaran angka 6,79 % atau justru naik 273.249 suara dibanding Pemilu 2009. Capaian ini tidak tergolong buruk jika memperhatikan badai yang menerjangnya akibat kasus mantan presidennya Luthfi Hasan Ishaq (LHI).

Fenomena PKS di atas mengantarkannya sebagai partai modern yang diperhitungkan. Beberapa faktor dapat dikaji terkait kondisi PKS dari awal hingga kini.

Pertama terkait vitalitas sistemnya. Capaian PKS di Pemilu 2014 lalu jauh dari prediksi sejumlah lembaga survei. PKS diprediksikan jeblok dan tidak lolos parliementery threshold pasca kasus yang menimpa LHI.

Signifikansi suara yang menjungkirbalikkan prediksi disebabkan oleh faktor kuatnya vitalitas PKS. PKS berhasil mempertahankan suara di tengah badai lantaran faktor kaderisasi yang baik, soliditas kader, dan kinerja di lapangan.

Kedua terkait virtualitas politiknya. Hasil survei Awesometric di berbagai media menunjukkan bahwa Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah partai politik yang paling disebutkan (the most mentioned). PKS dilaporkan lebih dari 213 ribu kali pada arus utama dan media sosial selama periode sebelum Pemilu 2014. Posisi kedua adalah Partai Demokrat dengan 203.247 kali, disusul oleh Partai Golkar, Gerindra, dan PDIP.

Ketiga terkait kecerdasan dan konsistensi perjuangannya. Kampanye PKS selama pemilu dipandang publik cukup atraktif dan kreatif, baik di media maupun lapangan. Isu yang diangkat juga beragam. Hal ini menunjukkan kecerdasan pengemasan politik oleh PKS. Capaian ini didukung oleh kader PKS yang sebagian besar berpendidikan tinggi.

Perbaikan Nasib

Capaian di atas bukannya tanpa kekurangan dan tantangan. PKS masih mendapatkan stigma negatif dari sebagian kalangan. Kalangan liberal menganggap PKS terlalu Islamis. Kalangan Islamis menganggap PKS mulai liberal. PKS mesti memperbaiki nasib ke depan dengan strategi jitu.

Dilema ini penting segera diselesaikan dan dikomunikasikan terhadap berbagai kalangan. Kasus-kasus kecil juga selalu diangkat misalnya cap PKS Wahabi, anti tahlilan, dan lain-lain. Beberapa kalangan kecil masih mencurigai agenda Islamisasi PKS dan menyangsikan genealogi ke-Indonesia-an PKS. Hal inilah tantangan PKS ke depan yang mesti dijawab tuntas. PKS mesti mampu membumikan ideologi, gagasan, dan ide-idenya dalam konteks ke-Indonesiaan.

PKS akan kembali diuji untuk mengoptimalkan peluang pada Pemilukada serentak 2017. Signifikansi hasil Pemilukada 2015 akan diperhitungkan parpol lain.  Massa dan kader PKS yang jelas dan loyal menjadi daya tawar dalam koalisi.

PKS juga dituntut semakin memacu diri dalam modernisasi demokrasi. Hal ini dapat dilakukan melalui intelektualisasi politisinya dan pendidikan politik publik. Modal PKS adalah memiliki kader dengan kadar intelektual tinggi. Sejatinya politik adalah industri pemikiran yang bertugas memberi arah bagi kehidupan masyarakat (Anis Matta, 2013).

PKS mesti tampil terdepan dengan teladan politisinya yang selalu memproduksi gagasan intelektual agar menghasilkan pemikiran jitu menyelesaikan persoalan bangsa. Alfian (2013) menyarankan agar politisi membuka diri dan bekerja sama lebih erat dengan para intelektual agar terbentuk pola intelektualisasi politik yang mandiri dan kreatif.

Tantangan selanjutnya yang mesti dijawab adalah membumikan gagasan PKS melalui aplikasi pendidikan politik. Pendidikan politik yang tidak optimal menyebabkan publik banyak buta politik. Seorang penyair Jerman bernama Bertolt Brecht menegaskan bahwa buta yang terburuk adalah buta politik, dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.

Dinamika politik terkini menguji efektifitas strategi PKS. Konsisten menjadi oposan memberikan konsekuensi pada minimnya sumber daya yang direngkuh. Namun belajar dari PDIP dan Gerindra yang menjadi oposan selama 10 tahun, justru berbuah manis sebagai jawara pemilu 2014.

Keunggulannya PKS yang tidak mengandalkan figur dan mengoptimalkan peran kader akan berpotensi mengantarkannya menjadi partai besar. Hal ini akan terjadi ketika kelak partai-partai lain kehilangan tokoh, gagal melakukan regenerasi, dan berkutat pada pusaran konflik. Kuncinya PKS mesti menghindari godaan korupsi, konflik internal, dan membumi dengan kemajemukan bangsa.[]

*Dimuat di HARIAN ANALISA, Edisi Sabtu, 23 Januari 2016