Bahaya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual: "Melayani rumah tangga" termasuk "Perbudakan seksual"

(Ketua AILA Rita Soebagio)

Rancangan Undang-undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual yang sedang digodok DPR dikritisi sejumlah pihak. Salah satunya mengenai konsep pada Naskah Akademiknya, yang menyebut “melayani rumah tangga” termasuk “perbudakan seksual”.

“Ketika perempuan melayani rumah tangga disebut sebagai perbudakan seksual, ini yang paling berbahaya dari RUU ini,” ungkap Ketua Aliansi Cinta Keluarga (AILA) Indonesia, Rita Soebagio, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Selasa, (31/05/2016).

Rita menyampaikan itu dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Fraksi PKS. Kehadiran AILA diterima oleh anggota Badan Legislatif Matri Agung dan Wakil Ketua Komisi VIII DPR Ledia Hanifa Amalia.

AILA berpandangan, jika melihat Naskah Akademiknya, konsep seksualitas pada RUU tersebut benar-benar mengadopsi konsep Barat yang liberal.

“Konsep mereka sangat individualistis,” ujar Rita.

Meskipun, menurutnya, RUU tersebut dalam perkembangannya sudah mengalami beberapa perubahan. “Sampai di titik mana RUU ini sekarang, ingin kita lihat,” ujarnya.

Dinilai Tak Sesuai Norma Agama

Dalam salinan Naskah Akademik RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang didapatkan hidayatullah.com, Selasa itu, pada Kajian Teoritis & Praktek Empiris disebutkan tentang Perbudakan Seksual.

Tertulis:

“Perbudakan Seksual adalah situasi dimana pelaku merasa menjadi ‘pemilik’ atas tubuh korban sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual.

Perbudakan ini mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah, melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan seksual dengan penyekapnya.”

Selain itu, tertulis pula:

“Penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual adalah cara menghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan.

Ia termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma kesusilaan.”

RUU tersebut diajukan ke DPR RI oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Rita menilai, konsep dalam RUU itu sangat tidak sesuai dengan norma-norma agama Islam.

Kedatangan AILA ke DPR bersama sejumlah lembaga lain, seperti BMOIWI, DDI, CGS, KIPIK, GIGA, Mushida, dan lain-lain.

Sumber: Hidayatullah