Menggembleng Diri dengan I'tikaf di Rumah Ilahi


Menggembleng Diri dengan I'tikaf di Rumah Ilahi

Oleh: Dr. Ahmad Kusyairi Suhail, MA*

وَلَا تُبَـٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمۡ عَـٰكِفُونَ فِى ٱلۡمَسَـٰجِدِ‌ۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقۡرَبُوهَا‌ۗ كَذَٲلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَـٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمۡ يَتَّقُونَ

".. Dan janganlah kamu campuri mereka (isteri-isteri) itu, sedang kamu beri'tikaf  dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa" (QS Al Baqarah [2]: 187)

Rutinitas kehidupan yang banyak didominasi oleh masalah materi membuat manusia sering lupa melakukan hormonisasi dengan Allah Rabbul 'Alamin. Padahal kebahagiaan yang selalu diidam-idamkan dan dikejar oleh setiap insane, hanya akan menjadi angan-angan dan tak akan teralisasi tanpa keharmonisan hubungan dengan Sang Pemberi Kebahagiaan Hakiki, Allah Ilahi Rabbi. Ramadhan sebagai bulan suci adalah saat yang tepat (bagi individu dan keluarga) untuk mensucikan diri dan meningkatkan kualitas diri lewat beragam cara dan bentuk ibadah. Salah satunya adalah dengan I'tikaf di rumah Ilahi.

Ayat di atas merupakan bagian dari ayat-ayat puasa, dari mulai ayat 183, 184, 185, 186 hingga ayat 187 dari surat Al Baqarah. Ayat ini menyinggung I'tikaf dan rambu-rambunya. Hal ini, menunjukkan, bahwa puasa seseorang akan semakin sempurna dan dapat meluluskannya menjad pribadi yang bertakwa, manakala mengiringi puasanya dengan ibadah I'tikaf.

Makna I'tikaf

I'tikaf berasal dari akar kata 'Akafa ya'kifu I'tikaf, secara etimologis bermakna Al Mulaazamah yaitu menyertai terus, menetap atau tinggal di suatu tempat untuk melakukan sesuatu yang baik. Secara terminologis, I'tikaf adalah tinggal atau berada dalam mesjid dengan niat mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Atau selalu menyertai ketaatan yang khusus di waktu yang khusus menurut syarat yang khusus di tempat yang khusus.

Kata 'Akafa dan derivasinya disebut 9 kali dalam Al Qur'an, yaitu di QS Al Baqarah [2]: 125 dan 187, Al A'raaf [7]: 138, Thaaha [20}: 91 dan 97, Al Anbiyaa' [2]: 52, Al Hajj [22]: 25, Asy syu'araa' [26]: 71 dan Al Fath [48]: 25.

Namun, yang terkait langsung dengan makna i'tikaf, disinggung dua kali dalam Al Qur'an. Yang pertama pada ayat di atas, sedang yang kedua pada firman Allah subhanahu wa ta'ala yang terkait dengan keharusan membersihkan masjid yang menjadi tempat i'tikaf, yaitu:


وَإِذۡ جَعَلۡنَا ٱلۡبَيۡتَ مَثَابَةً۬ لِّلنَّاسِ وَأَمۡنً۬ا وَٱتَّخِذُواْ مِن مَّقَامِ إِبۡرَٲهِـۧمَ مُصَلًّ۬ى‌ۖ وَعَهِدۡنَآ إِلَىٰٓ إِبۡرَٲهِـۧمَ وَإِسۡمَـٰعِيلَ أَن طَهِّرَا بَيۡتِىَ لِلطَّآٮِٕفِينَ وَٱلۡعَـٰكِفِينَ وَٱلرُّڪَّعِ ٱلسُّجُودِ

"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Baitullah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. dan Jadikanlah sebahagian maqam Ibrahim[89] tempat shalat. dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: "Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, yang i'tikaf, yang ruku' dan yang sujud" (QS Al Baqarah [2]: 125).

Penisbatan i'tikaf kepada masjid dalam ayat di atas, "sedang kamu beri'tikaf  dalam mesjid", menunjukkan bahwa bahwa ibadah i'tikaf tidak bisa dilakukan kecuali di dalam masjid, dan hal ini telah menjadi konsensus bulat (ijma') para ulama. Hanya kemudian para ulama/ahli fiqh berbeda pendapat apakah semua masjid bisa dipakai untuk i'tikaf?

Imam Abu Hanifah (peletak dasar Madzhab Hanafi) dan Ahmad bin Hanbal (peletak dasar Madzhab Hambali) berpendapat bahwa i'tikaf hanya bisa dilakukan di masjid yang selalu digunakan untuk shalat berjama'ah. Sementara Imam Malik (peletak dasar Madzhab Maliki) dan Syafi'i (peletah dasar Madzhab Syafi'i) berpendapat, bahwa i'tikaf boleh dilakukan di masjid manapun, baik yang dipakai untuk shalat berjama'ah ataupun tidak.

Sedangkan Syafi'iyah, ulama pengikut Madzhab Syafi'i, berpendapat bahwa sebaiknya i'tikaf itu dilakukan di masjid jami' yang biasa dipakai untuk melaksanakan shalat Jum'at, agar mu'takif (orang i'tikaf) tidak perlu keluar masjid ketika akan menunaikan shalat Jum'at. Dan lebih utama (afdhal) lagi apabila i'tikaf di salah satu dari tiga masjid yang paling mulia di jagat raya; yaitu Masjidil Haram di Mekah, Masjid Nabawi di Medinah, atau Masjidil Aqsha di Palestina.

Keutamaan I'tikaf di Bulan Ramadhan

Pada dasarnya, dalam ajaran Islam, seseorang dapat beri'tikaf di masjid kapan saja. Namun, i'tikaf di bulan Ramadhan memiliki keutamaan tersendiri. Inilah barangkali rahasianya mengapa ayat yang membahas i'tikaf di atas jatuh setelah pembahasan seputar masalah puasa.

Untuk itulah, menurut Ibnu Katsir, para Fuqoha (ulama ahli fiqh) ketika menyusun kitab (fiqh) menyertakan/mengiringi pembahasan Bab Shiyam (puasa) dengan Bab I'tikaf, hal ini mereka lakukan guna mengikuti cara Al Qur'an memaparkan kedua masalah tersebut, yaitu membahas i'tikaf setelah membahas puasa. Dan penyebutan Allah subhanahu wa ta'ala tentang i'tikaf sesudah masalah puasa, dalam ayat di atas, merupakan petunjuk penting tentang keutamaan i'tikaf di dalam bulan puasa (Ramadhan) atau (khususnya lagi) di akhir-akhir bulan puasa.

Karena itulah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, manusia yang telah mendapatkan jaminan pengampunan dosa dari Allah subhanahu wa ta'ala sebagaimana firman-Nya,

 لِّيَغۡفِرَ لَكَ ٱللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِن ذَنۢبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعۡمَتَهُ ۥ عَلَيۡكَ وَيَہۡدِيَكَ صِرَٲطً۬ا مُّسۡتَقِيمً۬ا

"Supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan nikmat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus" (QS Al Fath [48]: 2), selalu memprioritaskan untuk melaksanakan i'tikaf di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau menghadap Allah subhanahu wa ta'ala. Kemudian para isteri Nabi pun melakukan i'tikaf setelah wafat beliau SAW.

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها زَوْجِ النَّبِيِّ  صلى الله عليه وسلم أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Dari Aisyah radhiyallahu 'anha, isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu selalu melakukan i'tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan hingga diwafatkan oleh Allah, kemudian isteri-isteri beliau pun melaksanakan i'tikaf sesudah beliau wafat.

Bahkan, dalam hadits yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Sa'id Al Khudri radhiyallahu 'anhu, ia berkata,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوَّلَ مِنْ رَمَضَانَ ثُمَّ اعْتَكَفَ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ... فَقَالَ: "إِنِّي اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِي إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ فَمَنْ أَحَبَّ مِنْكُمْ أَنْ يَعْتَكِفَ فَلْيَعْتَكِفْ

"Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan i'tikaf pada sepuluh hari pertama dari bulan Ramadhan, kemudian beliau beri'tikaf pada sepuluh hari pertengahan Ramadhan ... lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya aku beri'tikaf di sepuluh hari pertama, aku bersungguh mencari (Lailatul Qadar) di malam itu. Kemudian aku beri'tikaf pada sepuluh pertengahan. Kemudian, aku didatangi lalu dikatakan kepadaku, sesungguhnya ia (Lailatul Qadar) di sepuluh hari terakhir. Maka, barangsiapa di antara kalian yang ingin melaksanakan i'tikaf, silahkan beri'tikaf."
  
Sementara dalam riwayat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, ia mengatakan,
 
كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم  يَعْتَكِفُ فِي كُلِّ رَمَضَانَ عَشْرَةَ أَيَّامٍ، فَلَمَّا كَانَ الْعَامُ الَّذِي قُبِضَ فِيهِ اعْتَكَفَ عِشْرِينَ يَوْمًا

"Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu melakukan i'tikaf setiap kali bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Lalu, pada tahun beliau wafat, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari."
 
Maka, ketika seseorang melakukan i'tikaf di bulan Ramadhan, khususnya pada sepuluh hari terakhir, akan dapat meningkatkan kesempurnaan prestasi ibadah puasanya. Lebih dari itu, maka ia berpeluang besar mendapatkan malam Lalatul Qadr yang lebih baik dari seribu bulan. Sebab, waktu Lailatul Qadar sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berpeluang besar terjadi pada malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan:

تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ

"Carilah dengan sungguh-sungguh Lailatul Qadar di sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan .." 

I'tikaf Sarana Efektif  untuk Evaluasi Diri dan Kontemplasi

I'tikaf merupakan sarana yang sangat efektif untuk muhasabah (evaluasi diri), tadzakkur (mengingat Allah) dan tafakkur (kontemplasi) bagi seorang muslim dalam rangka memelihara dan meningkatkan kualitas keislamannya, khususnya di era globalisasi dan mutimedia ini, yang cenderung membawa manusia kepada kehidupan yang materialistis. Seseorang perlu mengalokasikan waktu untuk merenung sejenak tentang tujuan hidupnya, apa sesungguhnya yang ingin dicapai dengan seluruh kesibukannya, bekal apa yang sudah disiapkan untuk menghadapi kematian dan kehidupan akhirat yang kekal nan abadi, dan lain-lain.

Karena itu, ulama salafuna ash shalih menganggap tafakkur sebagai sesuatu yang sangat penting, dan banyak dari mereka yang menempatkannya sebagai perbuatan yang mulia.

Imam Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan,

تَفَكُّرُ سَاعَة خَيْرٌ مِنْ قِيَامِ لَيْلَةٍ

"Tafakkur (merenung) sesaat itu lebih baik dari pada Qiyamullail (tahajjud)." 

Dalam kesempatan lain, beliau berkata, "Fikrah (merenung) itu cermin yang dapat memperlihatkan kepadamu, kebaikan-kebaikanmu dan keburukan-keburukanmu."

Dari Isa 'alaihissalam, sesungguhnya ia berkata,

طُوْبَى لِمَنْ كَانَ قَلْبُهُ تَذَكُّرًا وَصَمْتُهُ تَفَكُّرًا وَنَظَرُهُ عبرًا

"Beruntunglah orang yang hatinya selalu tadzakkur, diamnya untuk tafakkur dan pandangannya selalu (mengandung) ibrah."  

Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata,

الكَلاَمُ بِذِكْرِ الله عز وجل حَسَنٌ، وَالفِكْرَة فِيْ نِعَمِ اللهِ أَفْضَلُ العِبَادَةِ

"Mengucapkan dengan dzikrullah (mengingat Allah) adalah bagus. Dan merenung beragam nikmat Allah adalah ibadah yang paling utama." 

Imam Hasan Al Bashri rahimahullah pernah mengatakan,

يَابْنَ آدَمَ، كُلْ فِيْ ثُلُثِ بَطْنِكَ، وَاشْرِبْ فِيْ ثُلُثِهِ، وَدَعْ ثُلُثَهُ الآخَر لِلْفِكْرِةِ

"Wahai Manusia! Makanlah untuk sepertiga perutmu. Minumlah untuk sepertiga yang lain. Dan tinggalkanlah sepertiga (sisa) lainnya untuk merenung." 

Bisyr bin Harits  Al Haafi rahimahullah berkata,

لَوْ تَفَكَّرِ النِّاسُ فِيْ عَظَمَةِ اللهِ تَعَالَى لَمَا عَصَوْهُ

"Kalau manusia merenung tentang keagungan Allah ta'ala,niscaya dia tidak akan maksiat kepada-Nya."

'Amir bi Abd Qais rahimahullah berkata: Aku mendengar banyak dari Sahabat  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan,
إِنَّ ضِيَاءَ الإِيْمَانِ أَوْ نُوْرَ الإيمَانِ التَّفَكُّرُ
"Sesungguhnya pelita atau cahaya iman itu adalah tafakkur." 

Dan menjauh dari rutinitas kehidupan dunia dengan i'tikaf di masjiid, tentu menjadi sarana yang tepat untuk melakukan tafakkur (kontemplasi) tentang dosa, kesalahan dan kekurangan diri dalam banyak hal. Sekaligus bisa dimanfaatkan selama i'tikaf, buat muhasabah (evaluasi) terhadap amal-amal kita, mengaudit perbuatan-perbuatan baik dan buruk kita sehingga kita bisa memperbaiki diri dan menyongsong masa depan yang lebih baik lagi.

Karenanya, i'tikaf disyariatkan dalam rangka tazkiyatun nafs (menyucikan jiwa) dengan berkonsentrasi hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta'ala pada waktu yang sangat terbatas, namun memiliki nilai yang amat tinggi di sisi Allah subhanahu wa ta'ala.

Untuk itu, seorang yang i'tikaf harus selalu menyibukkan diri dengan dzikir, istighfar, tilawah Al Qur'an, shalat, munajat dan berdo'a kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Dan menjauhkan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat dan bisa menodai kesempurnaan i'tikafnya.

Diharapkan setelah i'tikaf, seseorang lebih fresh dan dapat menjalani aktifitas kesehariannya lebih berarti dan berkualitas. Sehingga tampillah menjadi sosok yang inovatif, kreatif dan produktif dan membawa dampak positif bagi lingkungannya, keluarganya serta bangsa dan negara.

Diperbolehkan selama i'tikaf berbicara atau mengobrol dengan isteri atau keluarganya atau orang lain selagi ada kemaslahatan untuk itu. Hal ini didasarkan pada hadits Shafiyyah Ummil Mukminin radhiyallahu 'anha, dia berkata,

كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم مُعْتَكِفًا فَأَتَيْتُهُ أَزُورُهُ لَيْلاً فَحَدَّثْتُهُ
ثُمَّ قُمْتُ لأَنْقَلِبَ فَقَامَ مَعِي لِيَقْلِبَنِي

"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah beri'tikaf, lalu aku mengunjunginya di malam hari, dan mengobrol dengannya, kemudian aku berdiri untuk pulang (ke rumahku), lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berdiri bersamaku"  .

Imam Ibnu'l Qayyim berkata, "I'tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati orang yang beri'tikaf dapat bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah."

Bayangkan, jika para pemimpin negeri ini membiasakan diri dengan i'tikaf bersama dengan rakyatnya, memenuhi masjid-masjid di seantero nusantara, dan seluruh keluarga Indonesia mengagendakan i'tikaf setiap bulan Ramadhan, walau beberapa malam saja dari malam-malam sepuluh hari terakhir Ramadhan, maka lambat laun negeri ini dengan izin Allah, akan menjadi lebih baik, bahkan bukan hal yang mustahil bisa menjadi Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafuur. Dan keluarga Indonesia pun menjadi keluarga bahagia di dunia dan di surga. Allahumma amin...

*Dr Ahmad Kusyairi Suhail, MA, Dosen S1 dan pascasarjana Fakultas Dirasah Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekjen Ikatan Dai Indonesia (IKADI), Pengurus Ponpes YAPIDH Bekasi

(Sumber: buku penulis "Tafsir Keluarga; Menjadi Menjadi Keluarga Bahagia di Dunia dan di Surga" hal. 199. Cet. I Mei 2016, Pustaka Ikadi Jakarta. Baca kunci dan kiat lain Menjadi Keluarga Bahagia di Dunia dan di Surga di buku ini. Segera miliki dan dapatkan bukunya di toko buku Gunung Agung, Gramedia dll).