Ungkapan "Da Aku Mah Apa Atuh" Tidak Baik Dalam Da'wah


[portalpiyungan.com] Jum'at, 17 Juni 2016, alhamdulillah saya bisa berangkat khutbah lebih awal. Biasanya, dari pesantren, saya langsung berangkat menuju tempat khutbah. Karena banyaknya donasi Palestina yang dititipkan pada saya dan tidak adanya agenda di pesantren, saya berangkat lebih awal agar bisa silaturrahim terlebih dahulu ke SIT HARUM, markaz da'wah yang menjadi markaz KNRP (Komite Nasional untuk Rakyat Palestina) dan tempat berkumpulnya para khotib, sekaligus titik penjemputan bagi perusahaan yang mempunyai kebijakan menjemput khotib.

Di SIT Harum, saya bertemu dengan Akh Kaspin, teman lama yang menjadi koordinator KNRP Karawang. Setelah menyerahkan donasi, Akh Kaspin menawari saya untuk berangkat bersama menuju tempat khutbah menggunakan mobil yang dia bawa karena perusahaan tempat saya khutbah berada satu kawasan industri dengan tempat Akh Kaspin khutbah. Saya pun menyetujuinya.

Dalam perjalanan menuju tempat khutbah, kami berbincang tentang kegiatan da'wah yang kami lakukan. Alhamdulillah, Akh Kaspin mendapat lahan da'wah baru sebagai pendongeng islami setelah belajar mendongeng selama tiga hari di Bogor. Kami juga bercerita tentang teman kami yang lain yang sedang diundang berda'wah keliling Kalimantan.

Saya juga bercerita bahwa dari tahun 2013 saya diminta seorang teman SMA yang sudah bermukim di Australia sejak 2002 untuk da'wah keliling Australia. Tapi, saya belum bisa mengabulkan undangan tersebut mengingat kapasitas diri saya. Dalam benak saya, komunitas muslim Indonesia yang ada di Australia pasti sedang melanjutkan pendidikan S2 dan S3, apalagi native-nya, pasca doktoral mungkin sudah biasa. Mengingat pendidikan saya belum selevel mereka, saya agak berat untuk mengabulkan undangan teman saya. Singkatnya, saya menggunakan jurus "Da Aku Mah Apa Atuh?" untuk menunda memenuhi undangan teman saya tersebut. Kalau menemui komunitas TKI yang ada di Hong Kong, saya tidak akan berpikir panjang :)

Saat itulah Akh Kaspin memberikan pencerahan.

"Akhi, itu mental block. Orang mengundang antum itu artinya sudah mengakui kapasitas antum. Mereka boleh S2 dan S3 di bidangnya, tapi mungkin belum mengetahui ilmu yang antum punya. Antum sudah lama berkecimpung dalam dunia da'wah. Apa sih susahnya berda'wah? Dalilnya itu, qur'annya itu, haditsnya itu, sama saja di mana-mana juga.

Lihat Kang Ibing yang cuma lulusan SD tapi berani ceramah di mana-mana, di hadapan professor sekali pun. Lihat Akh Endang, cuma lulusan STM, tapi tidak gentar untuk berda'wah keliling Nusantara. Antum juga bisa lihat ana, belajar mendongeng hanya tiga hari, tapi alhamdulillah sudah diundang ke mana-mana.

Antum mesti bersyukur antum sudah mengeyam pendidikan tinggi dan sedikit banyak sudah merasakan pesantren. Memang tidak akan sempurna. Tapi, da'wah tak harus menunggu kesempurnaan karena kita memang tidak akan sempurna.

Antum mesti bersyukur Allah telah memuliakan antum. Jangan menghinakan diri dengan pikiran yang belum tentu benar.

Berda’walah di manapun karena banyak membutuhkan ilmu antum. Tak perlu takut akan apa pun."

Subhanallah, nasihat yang sungguh mencerahkan.

Memang, banyak peluang da'wah yang sering kita "hindari" karena filosofi "Da Aku Mah Apa Atuh". Semoga di masa mendatang tidak terulang lagi menghindari peluang da'wah hanya karena perasaan inferior karena sesungguhnya Allah telah memuliakan kita.

Wallahu 'alam bish showab.

Al Faqir IlaLLAH

Asep Suhendar
(Komputer TU Pesantren Nurhasanat)