Poin Penting Sikap Fraksi PKS Tentang Perubahan UU Pilkada


Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS, Almuzzammil Yusuf menjelaskan poin-poin penting sikap Fraksi PKS dalam pembahasan perubahan UU Pilkada bersama DPD dan Pemerintah di Komisi II DPR RI, Jakarta, 31/5/2016.

“Pertama, Fraksi PKS memberikan perhatian serius terhadap perkembangan Pilkada di daerah yang semakin memperkuat fenomena politik uang. Kemenangan pasangan calon saat ini cenderung dipersepsi publik dikarenakan faktor kekuatan uang ketimbang kualitas calon, visi, misi, dan program kerjanya.” Jelas politisi PKS asal Lampung ini.

Oleh karena itu, kata Muzzammil, Fraksi PKS mengajak seluruh komponen bangsa untuk sama-sama mencari solusi pemilihan kepala daerah yang lebih memungkinkan lahirnya negarawan- negarawan di daerah dan pusat, sehingga pilkada bukan semata menjadi panggung bagi para hartawan untuk menguasai panggung politik daerah.

“Kedua, Fraksi PKS berpandangan bahwa persentase syarat mengajukan pasangan calon melalui partai politik dan/atau gabungan partai politik perlu diturunkan, dari sebelumnya 20% perolehan kursi atau 25% perolehan suara sah menjadi 15% dari perolehan kursi atau 20% perolehan suara sah.“ Jelas alumni Ilmu Politik UI ini.

Hal ini, menurut Muzzammil, sangat penting untuk membuka ruang yang lebih luas bagi munculnya calon-calon kepala daerah yang berkualitas dan mengurangi potensi terjadinya calon tunggal. Lagi pula persantase ini masih diatas persentase syarat calon perseorangan.

“Ketiga, jika kepala daerah (incumbent) yang menjadi calon kepala daerah tidak mundur maka hal yang sama seharusnya berlaku bagi calon kepala daerah yang menjabat sebagai anggota dewan. Karena anggota dewan dan kepala daerah memiliki status yang sama sebagai pejabat negara yang dipilih secara politik oleh publik.” Terangnya.

Logikanya, menurut Muzzammil, sesuai dengan Putusan MK Nomor 17/PUU-VI/2008 yang menyatakan bahwa syarat mundur bagi pejabat negara menimbulkan ketidakpastian hukum bagi jabatan kepala daerah yaitu lima tahun dan merupakan perlakuan yang tidak sama (unequel treatment) antar-sesama pejabat negara sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1).

“Jika menggunakan logika putusan MK tersebut maka calon kepala daerah yang menjabat sebagai anggota dewan tidak perlu mundur dari jabatan keanggotaanya. Cukup mengambil cuti dan mundur dari jabatan pimpinan atau alat kelengkapan dewan.”  Tegasnya.