Pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin (tengah) saat menyampaikan pemaparannya dalam rapat hak angket di Gedung DPRD DKI, Rabu (25/3/2015) [KOMPAS] |
Panitia Hak Angket DPRD DKI Jakarta menghadirkan ahli hukum tata negara Irman Putra Sidin untuk memberi pandangan terhadap kisruh APBD VS AHOK.
Irman berpendapat setiap mata anggaran dalam APBD harus dibahas pemprov bersama DPRD.
"APBD harus dibahas dan disetujui DPRD karena itu uang rakyat. Prinsipnya tidak boleh ada anggaran yang tidak pernah disetujui DPRD. Makannya DPRD diberikan fungsi anggaran," ujar Irman dalam rapat angket di ruang rapat DPRD DKI Jakarta, Rabu (25/3/2015).
Ia menilai, Kehadiran DPRD memang memiliki fungsi untuk mengawasi eksekutif termasuk soal anggaran. Karena tidak mungkin, satu per satu masyarakat mengawasi uang rakyat yang digunakan eksekutif.
"Yang namanya anggaran harus persetujuan DPRD," tegas Irman.
Atas penjelasan itu, Irman kemudian ditanya salah seorang anggota panitia hak angket dari Fraksi PDIP , Syahrial, yang menanyakan apa sanksi yang bisa diberikan kepada Ahok jika ia memang terbukti melanggar peraturan perundang-undangan.
"Bisa berhenti dari jabatannya. Nanti Mahkamah Agung yang memutuskan di situ. Sekarang kalau MA sudah putus, wajib remove from the office (berhenti dari jabatan)," jawab Irman yang disambut riuh tepuk tangan anggota DPRD.
Saat tepuk tangan berlangsung, tampak ada yang melontarkan kata "secepatnya".
Rapat angket pada Rabu siang itu dihadiri para pimpinan dan anggota panitia hak angket serta Ketua DPRD Prasetio Edi Marsudi (dari PDIP) dan salah satu wakilnya, Abraham Lunggana.
Dalam pemaparannya, Irman menjawab berbagai pertanyaan anggota DPRD seputar dugaan pelanggaran yang dilakukan Ahok, baik pelanggaran yang terkait dengan penyerahan dokumen RAPBD maupun dugaan pelanggaran etika.
Saat pemaparan terkait penyerahan dokumen RAPBD, Irman mengatakan, penyusunan dan pembahasan anggaran yang berasal dan diperuntukkan untuk rakyat sudah seharusnya melibatkan lembaga yang berhak mengatasnamakan wakil rakyat, dalam hal ini DPRD.
Menurut Irman, tidak boleh sebuah pemerintahan tidak melibatkan lembaga wakil rakyat dalam pembahasan anggaran rakyat. Karena bila sampai hal itu terjadi, pemerintahan itu sedang menjalankan sistem kekuasaan absolut yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi.
Sementara itu, dalam pemaparan yang terkait dengan dugaan pelanggaran etika, Irman mengatakan, keharusan seorang pemimpin menaati etika dan norma sudah diatur dalam TAP MPR Nomor 6 Tahun 2001 tentang kehidupan berbangsa dan bernegara dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Menurut Irman, begitu pentingnya aspek etika bagi seorang pemimpin membuat seorang pemimpin yang melanggar etika dimungkinkan untuk dimakzulkan.
Ia pun mencontohkan kasus yang dialami oleh Aceng Fikri yang dimakzulkan dari jabatannya sebagai Bupati Garut pada 2012 hanya karena nikah siri yang dilakukannya.
Saat itu, Aceng dimakzulkan oleh DPRD Garut, yang pengambilan keputusannya dilakukan oleh Mahkamah Agung pada 2012.
"Di Garut, Bupati diputuskan melanggar etika perundang-undangan dan harus turun dari jabatannya hanya karena tidak mendaftarkan pernikahannya. Dia juga tidak mendapat izin dari istri pertama. Itu putusan dari Mahkamah Agung," ujar Irman. (KOMPAS/dll)