Oleh Said Al-Hajj*
Di tengah perkembangan yang cepat di kawasan regional Arab, sebagian pengamat, bahkan sebagian besar politisi kesulitan dan kebingungan menafsirkan sebagian sikap-sikap Amerika yang saling kontradiksi. Di satu sisi Amerika hampir sepakat dengan Iran (yang menurut asumsi ini mencakup seluruh kawasan) terkait permasalahan program nuklir, di sisi lain Amerika ikut memotivasi operasi militer di Suriah atas sekutu Iran Basyar Asad, seperti halnya operasi 'Badai Penentu' yang dipimpin Saudi di Yaman.
Untuk memahami sikap dan politik Amerika, penulis mencoba menggunakan prinsip lama tapi baru dari Winston Churchill (PM Inggris tahun 1940) soal kepentingan “permanen” dalam politik, bukan persahabatan atau permusuhan abadi. Atau dalam istilah kita, "dalam politik tidak ada kawan dan lawan abadi yang abadi adalah kepentingan".
Karena dalam menyimpulkan sesuatu adalah menggunakan prinsip bahwa hal yang parsial/detail menafsirkan yang global, dan yang prinsipil menentukan yang variabel, yang cabang hanya bisa dipahami jika yang dasar, maka kita harus melihat kepentingan Amerika yang permanen di kawasan Arab, tidak terkecoh dengan sebagian taktik Amerika yang bersifat sementara.
Peneliti Timur Tengah Luis Faust menyebutkan tiga kepentingan utama Amerika di kawasan Timur Tengah selama perang dingin; (1) mengamankan jalur minyak bumi, (2) menjaga keamanan Israel dan (3) meredam pengaruh komunisme. Setelah runtuhnya Uni Soviet, tiga kepentingan ini tinggal dua saja “minyak dan Israel”. Selain itu, hanya mirip catatan kaki dari teks utama.
Kasus Suriah
Hanya dengan prinsip di atas kita bisa memahami strategi Amerika di Suriah sejak revolusi pertama meletus.
[Kondisi Suriah saat ini berawal dari Arab Spring. Fenomena Arab Spring yang berhasil menumbangkan rezim di Tunisia dan Mesir membangkitkan rakyat Suriah untuk menumbangkan rezim Assad. Namun rezim Assad balik menyerang dan mengerahkan kekuatan bersenjata untuk menumpas revolusi rakyat Suriah. Terjadilah perlawanan kubu revolusi melawan rezim hingga saat ini -ed]
Amerika tak pernah terlibat dalam meletuskan revolusi tapi berusaha memetik hasilnya. Amerika hanya mengubah Suriah menjadi “holocoust” atau “black holes”. Amerika ingin menyelam sambil meminum air. Sehingga rezim Assad akan kepayahan dengan cara Amerika menyulut, melibatkan kelompok jihadis, melibatkan Iran dan Hezbollah, berusaha merepotkan Turki, sehingga Suriah hancur dan semua kawasan Arab terkuras habis energinya. Karena itu, jatuhnya Assad di awal revolusi adalah “garis larangan” karena akan mempercepat ancaman di perbatasan atas keamanan Israel. [Kalau Amerika mau, sejak awal Assad sudah bisa dihabisi. Namun Amerika sengaja 'mengulur waktu' untuk menguras habis energi Arab -red]
Sejak Suriah konflik, Amerika tetap berusaha menjadi pengendali peristiwa di sana. Amerika menentukan sebagian besar dukungan kepada oposisi, kepada siapa diberikan dan kemanan digunakan, memaksakan sekutunya untuk mengikuti intruksinya. Washington, misalnya, menjamin tidak akan membiarkan oposisi Suriah melancarkan senjata anti pesawat tempur rezim Asad. Washington melarang oposisi menjatuhkan pesawat rezim namun di sisi lain mencegah menghabisi oposisi sehabis-habisnya. Beberapa saat lalu seorang politisi penting Amerika menegaskan strategi negerinya dengan kata-kata jelas bahwa Amerika ingin menjaga perimbangan di Suriah dan tidak intervensi kepada satu pihak melawan pihak lain. Inilah yang penulis sebut sebagai strategi melelahkan dan melemahkan semua pihak. Dengan kata lain akan terjadi pembantaian oleh masing-masing pihak atas pihak lain.
Banyak pihak mengharapkan Amerika berperang di Suriah. Namun agaknya mereka lupa dari belajar Irak. Irak bukan hanya dihancurkan dan dihabisi warganya selama bertahun-tahun. Namun ini adalah langkah awal atau memberikan lampu hijau kepada Shadam Husain waktu itu untuk mengivasi Kuwait kemudian dijadikan itu alasan untuk menjajah Irak dan menerapkan aturan permainan baru di Timur Tengah pasca Perang Dingin.
Kasus Yaman
Pelajaran ini juga berlaku untuk Yaman saat ini. Namun dengan visi yang lebih luas dari sekadar menyimpulkan peristiwa sepenggal-penggal sesuai dengan selera dan emosi. Sebab tidak mungkin mempersepsikan ekspansi kekuasaan kelompok Houthis-Iran hanya dibatasi beberapa meter di kawasan kedutaan atau pangkalan militer Amerika tanpa izin Paman Sam sendiri. Namun sulit juga menggambarkan operasi 'Badai Penentu' koalisi Saudi bisa digelar tanpa ada lampu hijau dari Washington. Lantas berpihak kepada siapa Amerika dalam operasi militer yang bisa menjalar menjadi perang penghabisna di kawasan, apakah kepada iran dan entitas yang dibawahnya atau di pihak Saudi dan negara-negara teluk lainnya atau mungkin Turki?
Menurut penulis, Amerika berdiri tidak berpihak kepada salah satu, namun Amerika berada di atas mereka. Artinya, Amerika membantu meletusnya konflik terlepas dari hasil konfliknya di akhir. Sebab Amerika tidak menempuh satu strategi yang stagnan. Namun Amerika dibantu juga oleh unsur-unsur kekuatan dan tetap membangun dan bekerjasama dengan agen-agen resmi dan non resmi. Dengan demikian Amerika mengandalkan kepada sejumlah strategi yang memungkinkan untuk menyesuaikan diri dengan segala perubahan.
Karena itu, sikap Amerika selalu blur dan tidak jelas dan bias. Sekali waktu dia seakan mendukung, bekerjasama, menyerukan untuk dialog, solusi politik. Ini sikap bias yang sengaja dan sering terulang dalam politik Amerika. Ini kegamangan yang disengaja. Hal ini dilakukan Amerika agar ia bisa menghindar dari segala bentuk komitmen.
Jadi konflik di kawasan Arab saat ini berpihak kepada kepentingan Amerika. Sebab musuh-musuh Amerika akan terkuras energinya. Di sisi lain, mereka semakin membutuhkan Amerika di bidang teknologi. Di lain sisi, Amerika menghindarkan mereka dari konflik lain dengan Israel.
Di balik konflik itu, Amerika juga berharap agar negara-negara yang berkonflik dalam negeri akan terbelah-belah berdasarkan etnis dan madzhab seperti impian Bernard Luis.[]
*Sumber: infopalestina.com