PP Muhammadiyah menyarankan pemerintah untuk membentuk badan pengawas yang mengawasi lembaga antiterorisme seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan Densus 88.
"Karena pengawasan tidak ada, akhirnya anggaran yang dikeluarkan tidak ada yang mengawasi. Misalnya untuk Densus saja mencapai Rp1,9 triliun," tutur anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Mustofa B. Nahrawardaya saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 31 Mei 2016.
Hingga saat ini tidak ada lembaga yang berwewenang untuk mengawasi akuntabilitas terkait penggunaan dan besaran dana yang dimiliki lembaga antiterorisme.
Sehingga penggunaan anggaran negara untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tidak terkontrol.
"Prinsipnya semua pendanaan yang berasal dari anggaran negara (APBN) harus dipertanggungjawabkan. Prinsip 'good governance' (pemerintahan yang baik) kan seperti itu. Kecuali kalau itu memang dana dari asing silahkan saja sesukanya," ujarnya.
Selain itu, pengawasan perlu dilakukan mengingat banyaknya kasus pelanggaran dan kekerasan yang diterima tersangka terorisme saat proses pemeriksaan.
Menurut Mustofa, hal tersebut jika dianalogikan maka sama dengan upaya penegakan hukum melalui cara-cara yang justru melanggar hukum.
PP Muhammadiyah pun berharap ide pembentukan badan pengawas tersebut bisa diajukan dalam revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Namun Mustofa menegaskan, jika badan pengawas tersebut bisa diwujudkan pembentukannya maka harus diperhatikan juga individu-individu yang akan mengisi jabatan baik struktural dan operasional di badan tersebut.
"Kalau yang di dalamnya orang-orang 'pesanan' juga ya hasilnya sama saja. Jadi yang di dewan pengawas ini harus pihak-pihak yang punya legitimasi hukum, unsur masyarakat, atau tokoh ormas yang peduli dengan isu terorisme," ujarnya memaparkan.
Kombinasi dari antarlembaga tersebut, diharapkan akan mencegah potensi 'masuk angin' dari badan pengawas yang telah dibentuk
"Karena pengawasan tidak ada, akhirnya anggaran yang dikeluarkan tidak ada yang mengawasi. Misalnya untuk Densus saja mencapai Rp1,9 triliun," tutur anggota Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Mustofa B. Nahrawardaya saat dihubungi di Jakarta, Selasa, 31 Mei 2016.
Hingga saat ini tidak ada lembaga yang berwewenang untuk mengawasi akuntabilitas terkait penggunaan dan besaran dana yang dimiliki lembaga antiterorisme.
Sehingga penggunaan anggaran negara untuk pemberantasan tindak pidana terorisme tidak terkontrol.
"Prinsipnya semua pendanaan yang berasal dari anggaran negara (APBN) harus dipertanggungjawabkan. Prinsip 'good governance' (pemerintahan yang baik) kan seperti itu. Kecuali kalau itu memang dana dari asing silahkan saja sesukanya," ujarnya.
Selain itu, pengawasan perlu dilakukan mengingat banyaknya kasus pelanggaran dan kekerasan yang diterima tersangka terorisme saat proses pemeriksaan.
Menurut Mustofa, hal tersebut jika dianalogikan maka sama dengan upaya penegakan hukum melalui cara-cara yang justru melanggar hukum.
PP Muhammadiyah pun berharap ide pembentukan badan pengawas tersebut bisa diajukan dalam revisi UU nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Namun Mustofa menegaskan, jika badan pengawas tersebut bisa diwujudkan pembentukannya maka harus diperhatikan juga individu-individu yang akan mengisi jabatan baik struktural dan operasional di badan tersebut.
"Kalau yang di dalamnya orang-orang 'pesanan' juga ya hasilnya sama saja. Jadi yang di dewan pengawas ini harus pihak-pihak yang punya legitimasi hukum, unsur masyarakat, atau tokoh ormas yang peduli dengan isu terorisme," ujarnya memaparkan.
Kombinasi dari antarlembaga tersebut, diharapkan akan mencegah potensi 'masuk angin' dari badan pengawas yang telah dibentuk