Anomali Kenaikan Harga Beras




Andi Irawan

(Dosen Pascasarjana Agrobisnis Universitas Bengkulu)



Anomali kenaikan harga beras terjadi dalam beberapa pekan terakhir. Kita katakan terjadi anomali karena kenaikannya tajam dalam durasi yang singkat di mana harga beras bisa naik 30 persen dalam jangka waktu dua minggu saja. Karena kenaikannya tidak seperti biasa, mudah untuk menimbulkan dugaan ada mafia yang bermain di dalamnya. Artinya, kenaikan harga tersebut by design (direkayasa).



Kenaikan harga beras yang sengaja direkayasa oleh jaringan yang bersifat ilegal dan kriminal untuk mendapatkan keuntungan ekonomi itulah yang dimaksudkan dengan mafia beras. Arti kata mafia ini, menurut Wikipedia, adalah kejahatan terorganisasi (organized crime). Apakah benar kenaikan harga beras yang anomali tersebut dirancang oleh organized crime yang sedemikian? Artinya, sejumlah oknum yang mewakili beragam kelembagaan hadir di dalamnya. Ada oknum yang mewakili pasar, yakni para pengusaha; ada oknum yang mewakili pemerintah atau pengambil kebijakan; ada oknum yang mewakili penegak hukum; ada oknum yang mewakili legislatif; dan lain-lain.



Semua oknum tersebut membuat jaringan ilegal untuk mengatur pasar dalam rangka memaksimalkan keuntungan mereka. Saya rasa makna mafia seperti itu tidak terjadi di perberasan nasional.



Kenaikan harga beras saat ini bisa dikatakan terjadi karena kelangkaan alamiah. Kelangkaan alamiah adalah sesuatu yang niscaya karena, dalam satu tahun, panen hanya terjadi pada bulan-bulan tertentu (Maret dan April panen raya, Agustus panen gadu, dan November panen kecil). Pada bulan-bulan tersebut, khususnya panen raya, produksi menjadi berlimpah. Dan sebaliknya, di luar bulan-bulan tersebut dinamakan musim paceklik karena produksi sedikit atau bahkan tidak ada.



Dengan demikian, faktor manajemen logistik dan distribusi antarmusim akan menentukan terjadi-tidaknya kelangkaan beras. Prinsip umumnya adalah, ketika musim panen, negara menyerap beras untuk disimpan sebagai stok di gudang-gudang Bulog, yang selanjutnya dilempar ke pasar pada musim paceklik agar harga tetap stabil.



Kenaikan harga beras yang anomali saat ini bisa dijelaskan karena mismanagement logistik beras nasional. Mengapa kita katakan begitu? Karena pemerintah pada November dan Desember abai mengeluarkan beras murah untuk rumah tangga miskin (raskin). Dua bulan terlambat melepaskan raskin, padahal pada saat yang bersamaan sedang musim paceklik, maka tak pelak hal ini menyebabkan harga naik sangat tajam.



Baru kemudian pada Januari digelontorkan 91 ribu ton raskin dan pada Februari sebesar 140 ribu ton, tapi tentu saja gelontoran itu tidak mampu menekan kenaikan harga, karena ada keterlambatan pelepasan raskin selama dua bulan dan jumlah raskin yang dikeluarkan juga masih di bawah alokasi normal. Normalnya, pemerintah menggelontorkan raskin setiap bulan sekitar 230 ribu ton beras.



Keterlambatan pengeluaran raskin terjadi karena pemerintah menilai kebijakan ini tidak tepat lagi kalau ditujukan untuk menolong orang miskin, karena banyak salah sasaran dan pelanggaran dalam implementasinya. Pemerintah bermaksud menggantinya dengan e-money, di mana rumah tangga miskin diberi uang secara langsung, tidak lagi dalam bentuk beras.



Pemerintah tampaknya lupa bahwa program raskin tak sekadar menolong orang miskin, tapi juga mempunyai fungsi penting, yakni menstabilkan harga beras. Selama ini harga beras bisa stabil karena pemerintah setiap bulan menggelontorkan beras untuk 15,5 juta rumah tangga miskin sebanyak 15 kg per rumah tangga atau sekitar 230 ribu ton per bulan dengan harga sangat murah: Rp 1.600 per kilogram. Kuantitas beras yang sedemikian besar dengan harga yang sangat murah sangat membantu menciptakan kestabilan harga beras.



Mismanagement logistik dalam empat bulan terakhir inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh para pedagang besar. Dan peluang itu ada karena struktur pasar beras bersifat oligopoli. Ada segelintir pedagang besar yang menguasai suplai beras nasional berhadapan dengan ratusan juta konsumen beras. Kondisi yang demikian menciptakan pedagang-pedagang itu mempunyai power di pasar. Mereka bisa menjadi price maker (penentu harga). Artinya, kenaikan harga beras anomali yang terjadi saat ini karena para pedagang besar beras memanfaatkan kelalaian pemerintah melakukan stabilisasi harga beras rutin melalui program raskin dalam empat bulan terakhir.



Dan menurut saya, solusi dari anomali kenaikan harga beras saat ini adalah menggelontorkan ke pasar akumulasi dua bulan lebih raskin yang sempat tertunda alokasinya atau sekitar 700 ribu ton dengan harga Rp 1.600 di seluruh Indonesia sejak saat ini sampai pertengahan Maret 2015 (saat panen raya tiba).



Pengalaman kenaikan harga beras yang tajam dalam satu bulan terakhir juga menunjukkan bahwa pemerintah belum memiliki alternatif alat stabilisasi harga bulanan yang prima pengganti raskin. Karena itu, saran penting lainnya: jangan hentikan program raskin tersebut.***



Sumber: TEMPO