Pengakuan terhadap Golkar kubu Agung Laksono sebentar lagi akan memberikan beban kepada presiden. Selain beban bahwa tindakan itu akan memancing reaksi keras dari Golkar kubu Aburizal Bakrie serta partai-partai di Koalisi Merah Putih lainnya, seperti, misalnya, ancaman hak angket terhadap Menteri Hukum dan HAM yang sedang bergulir, pengakuan itu juga akan membebani presiden dengan sebuah transaksi politik baru. Ya, cepat atau lambat, presiden harus segera melakukan transaksi politik dengan kubu Golkar yang merapat kepadanya.
Pertanyaannya kemudian bukan apakah akan terjadi reshuffle kabinet atau tidak, karena hal itu tak perlu lagi dijawab, melainkan: jika terjadi perubahan kabinet, siapakah sosok yang akan tergusur?!
Dari 34 orang menteri dan Menko dalam Kabinet Kerja, terdapat 16 orang yang berasal dari partai politik, atau berafiliasi dengan partai dan/atau tokoh politik, 7 orang profesional/praktisi, 7 orang akademisi, dan 4 orang birokrat. Dari komposisi itu, 16 orang yang berasal dari partai politik di atas kertas agak sukar dibayangkan akan ada yang dicopot. Pencopotan wakil partai politik, jikapun dilakukan melalui komunikasi dengan pimpinan partai terkait, dan penggantinya juga berasal dari partai yang sama, tetap akan menimbulkan gejolak di internal partai pendukung pemerintah. Dan itu bisa jadi bola liar yang berpotensi memecah dukungan pada pemerintah.
Sementara, 7 orang profesional/praktisi yang ada di kabinet juga semuanya relatif punya ikatan dengan kelompok atau tokoh politik tertentu, yang membuat posisi mereka di atas kertas cukup kuat. Jadi, posisi yang paling rentan tergusur dihadapi oleh 4 orang birokrat dan 7 orang akademisi yang ada di kabinet.
Meskipun demikian, bagaimanapun kabinet ini membutuhkan sokongan dari para birokrat. Kita bisa sama-sama menyaksikan bagaimana buruknya penguasaan administrasi pemerintahan dari umumnya para menteri kabinet yang sekarang. Sehingga, seandainyapun ada menteri dari jajaran birokrat yang diganti, cukup sulit membayangkan posisi mereka akan diganti oleh kalangan partai politik.
Presiden mempunyai peluang untuk mengakomodasi kepentingan Golkar pada posisi-posisi yang kini diduduki oleh para akademisi kampus. Dari tujuh orang akademisi, dua atau tiga di antaranya memang bermodalkan dukungan politik cukup kuat, baik dari ormas, pasar, maupun kekuatan politik tertentu, yang membuat mereka cukup punya posisi tawar untuk terus bertahan di kabinet. Tapi tidak bagi sebagian besar yang lain. Di kelompok inilah presiden punya kesempatan besar untuk memasukan nama-nama yang disorongkan Golkar.
Itu baru dari sisi personalia. Dari sisi posisi, tentu saja sebagai partai politik besar Golkar tidak akan mau menduduki posisi-posisi “tak sedap” yang umumnya diduduki oleh para menteri dari kalangan akademisi tadi, sehingga selain penggantian, jika Golkar masuk kabinet, sangat mungkin akan disertai sejumlah pergeseran juga.
Ini bukan ramalan, sekadar lamunan orang yang kehabisan kopi saja.
*Dari fb Tarli Nugroho (23/3/2015)