Dari tulisan Rusdi Mathari di wall fb-nya (22/8/2015)
AHOK. Menanggapi penggusuran rumah-rumah warga di Kampung Pulo oleh aparat, seseorang telah menulis dengan menuding di dinding Facebooknya bahwa isu itu diarahkan menjadi isu rasis. Anti-Cina, karena Ahok, Gubernur DKI Jakarta yang memerintahkan penggusuran itu adalah Cina. Tapi status itu, tampaknya segera dihapus dan seharusnya memang dihapus, sebab penuh prasangka, bisa menyulut sentimen, dan tidak meletakkan persoalan pada tempatnya.
Ahok memang Cina. Tak bisa dipungkiri. Dan seperti halnya manusia lain yang terlahir sebagai orang Aceh, Arab, Bali, Batak, Dayak, Jawa, Madura, Makassar, Manado, Maluku, Padang, Papua, Sasak, Sunda dan lain sebagainya, terlahir menjadi Cina tentulah bukan salah Ahok. Tak seorang pun manusia bisa memilih untuk dilahirkan sebagai apa, berdarah apa, berbangsa apa. Tidak Ahok, tidak kita semua.
Problemnya: bangsa ini selalu senang hidup dalam kecurigaan. Memendam dan memeliharanya. Penduduk lokal mencurigai pendatang, kulit cokelat mewaspadai mata sipit, hidung mancung menutup diri dari tetangganya yang berhidung pesek, agama A dianggap agama pendatang, kepercayaan B diaku sebagai kepercayaan asli. Begitu seterusnya, daku-mendaku itu tak selesai dipersoalkan hingga sekarang. Hasilnya: tidak ada selain kebencian dan kecurigaan itu.
Ratusan kali, bangsa ini kemudian menumpahkan darah karena hal-hal yang didasari sangka-sangka dan kebencian, seolah sejarah bangsa ini dibangun hanya oleh satu kelompok, satu puak, satu warna kulit, satu agama, satu ideologi. Tak ada yang mencoba tahu lalu belajar bahwa lagu Indonesia Raya, misalnya, kali pertama justru disebarkan oleh “Sin Po”, koran milik Kwee Kek Beng, orang Cina yang tinggal Jalan Asemka di Jakarta, menjelang Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Koran itu pula, yang pertama yang tidak menggunakan kata “inlander” untuk menyebut pribumi, dan menggantinya dengan sebutan orang Indonesia.
Lalu kini, ketika seorang Ahok dikecam dan dikritik, muncul anggapan dari beberapa orang yang mengidolakan Ahok bahwa kecaman dan kritikan itu disebabkan karena Ahok seorang Cina. Para pengecam Ahok lalu [mulai] dituduh rasis.
Mereka lupa, dalam kasus penggusuran rumah-rumah warga miskin di Kampung Pulo yang disertai kekerasan, kecaman dari beberapa orang ditujukan kepada penguasa yang sewenang-wenang. Bahwa nama Ahok kemudian terseret-seret dan dikecam, tentulah niscaya sebab dialah gubernur Jakarta yang memerintahkan penggusuran di Kampung Pulo dan penggusuran-penggusuran lain di tempat lain di Jakarta. Bukan sebab Ahok orang Cina. Tidakkah mereka juga tahu, sebagian yang mengkritik dan mengecam tindakan Ahok adalah juga orang Cina?
Maka kecaman kepada Ahok mestinya disikapi sebagai hal yang wajar-wajar saja. Sama dengan kecaman banyak orang terhadap kasus penggusuran pedagang kaki lima di zaman Sutiyoso yang juga berdarah-darah yang tidak ditujukan kepada Sutiyoso yang Jawa sebagai pribadi, melainkan Sutiyoso sebagai penguasa yang sewenang-wenang melakukan penggusuran. Atau kecaman terhadap kesombongan Bibit Waluyo, yang pernah menganggap Jokowi sebagai walikota Solo orang bodoh karena menolak merubuhkan bangunan bersejarah di Solo untuk dijadikan pusat belanja.
Haruslah diingat pula: siapa saja, di mana saja, yang namanya penguasa adalah cenderung petentang-petenteng, pendusta dan korup. Tak peduli apa pun kepercayaan dan ideologi yang dianutnya, tak peduli apa pun warna kulitnya.
Dan bila kita yakin bahwa bangsa ini adalah dibangun dengan kekuatan Bhineka Tunggal Ika, tak usahlah menyulut-nyulut sentimen ras, suku dan agama, hanya karena seorang penguasa yang dielu-elukan semacam Ahok yang kebetulan Cina, sedang dikririk dan dikecam. Kecuali kita semua menganggap Bhineka Tunggal Ika hanya tahi yang rutin dikeluarkan setiap pagi menjelang upacara bendera.
*Sumber: http://ift.tt/1U7sbWW