Secara fakta, masyarakat Indonesia itu mayoritas 'emosional'. Dalam artian, lebih cenderung mengutamakan perasaan daripada 'logika"/pikiran. Baik itu dalam memilih pemimpin, menentukan pilihan kebijakan bahkan hingga berinteraksi sosial.
Maka, seandainya Presiden Joko Widodo dan atau Menteri Koordinator Perekonomian dan atau Menteri Keuangan dan atau Gubernur Bank Indonesia dengan jujur meminta maaf kepada rakyat Indonesia karena belum bekerja dengan optimal sehingga kondisi perekonomian tidak seperti apa yang telah dijanjikan, kondisi nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar yang begitu mengkhawatirkan, banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di ratusan perusahaan dan berbagai keterpurukan lainnya akhir-akhir ini, tentunya masyarakat Indonesia akan jauh lebih 'tenang'.
Apalagi ditambah dengan pernyataan bahwa pemerintah sedang berusaha dengan usaha yang terbaik dan meminta masyarakat untuk mendoakan bagi keberhasilan dan kesuksesan segala daya dan upaya yang dilakukan pemerintah dan jajarannya, saya yakin, Presiden Joko Widodo tidak perlu meminta untuk 'menghidupkan' lagi Pasal Penghinaan Presiden di dalam KUHP.
Ya, jujur adalah kunci baik segala-galanya. Bahkan orang yang melakukan kekeliaruan sekalipun, jujur mengakui salah adalah hal yang utama.
Sayangnya, sedari awal, sepertinya pemerintah hanya ingin menyenangkan masyarakat dengan janji "meroket" dan harapan serta pengalihan perhatian. Padahal, janji, harapan, pengalihan tidak pernah menyelesaikan masalah. Malahan akan menimbulkan masalah di hari kemudian.
Sekali lagi, Presiden, Menteri dan jajarannya tidak perlu lagi mengutarakan: "Bukan urusan saya. Kita baik-baik saja. Ini bukan kerjaan saya. Silakan tanya ke si anu. Ini tanggung jawab si anu. Ini salah Korut-Korsel" dan lain-lainnya. Akuilah saja kekurangan dan akui pula salah langkah yang telah dilakukan. Selebihnya, minta maaf dan minta doa dari seluruh anak bangsa.
Ayo bekerja dan selamat bekerja. Saya yakin, untuk level penguasa, pekerjaannya pasti ada. Tidak seperti rakyat jelata.
(Azzam Mujahid Izzulhaq)