Makam K.H Kosim bin H Thohir Kampung Pulo, Jakarta Timur, Jumat (21/8). |
Sebelum Republik Indonesia ini berdiri, ribuan warga telah bermukim di Kampung Pulo. Penduduk di Kampung Pulo, Kelurahan Kampung Melayu, Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur, itu telah ada sebelum tahun 1930.
Mayoritas warga adalah suku Betawi, namun sejak tahun 1970-an banyak warga pendatang dari daerah 'Kulon', Bogor, dan sekitarnya. Selain itu, terdapat etnis Tionghoa, juga warga keturunan Arab, Padang, dan Batak.
Pada masa kolonial Belanda, kampung tersebut merupakan bagian dari kawasan Meester Cornelis. Kampung seluas 8.575 hektar tersebut memiliki akar dan nilai sejarah antopologi kultural yang kuat.
Selama empat abad, Meester Cornelis Jatinegara adalah salah satu pusat fungsional pertumbuhan Kota Jakarta. Fakta historis tersebut berhasil dihimpun Ivana Lee, pendamping warga dari LSM Ciliwung Merdeka yang pernah melakukan penelitian di wilayah tersebut.
"Lokasinya strategis, dekat dengan stasiun kereta api, dan pasar skala regional," kata Ivana, yang aktif bergelut di LSM yang melakukan pendampingan dan advokasi secara intensif terhadap komunitas warga Kampung Pulo sejak tahun 2014.
Secara bertahap, di sana mulai muncul perkampungan dan perkembangan perekonomian sektor informal. Kemajuan tersebut cukup pesat sebab Kampung Pulo awalnya adalah hutan.
Sebagian wilayah Kampung Pulo dibuka oleh lima bersaudara (Asril, Rihen, Bandan, dan dua orang tak diketahui namanya) yang diberi wewenang oleh kolonial Belanda berupa dua surat verponding. Mereka menjadi tuan tanah yang menarik pajak pada para pemukim.
Dengan kata lain, tanah sebagian warga di Kampung Pulo adalah tanah adat yang dimiliki jauh sebelum tahun 1930. Hingga kini, LSM Ciliwung Merdeka secara de facto mendata masih banyak warga di Kampung Pulo yang memegang hak kepemilikan adat, seperti girik, petuk pajak bumi, jual beli di bawah tangan, dan verponding Indonesia.
Direktur Ciliwung Merdeka, Sandyawan Sumardi, menyatakan bahwa verponding diakui dalam UU Pokok Agraria Pasal 3 atau UU No 5 Tahun 1960. Ia berkata, sebagai konsekuensi dari lahirnya UU tersebut, pemerintah Indonesia harus mengonversi surat-surat kepemilikan adat ke dalam sertifikat tanah warga.
Sandyawan menyebutkan, usaha demikian pernah dilakukan pemerintah melalui program Prona dan Larasita, namun birokrasi masih berbelit dan biayanya tinggi.
Secara hukum, menurutnya, terutama berdasarkan asas keadilan, hak kepemilikan adat tidak bisa dibatalkan hanya karena warga bersangkutan belum mampu meningkatkan status surat-surat tanah itu menjadi sertifikat.
"Kalau sampai terjadi pembatalan, atau warga tiba-tiba dianggap tak lagi memiliki hak atas tanah mereka sendiri, ini namanya negara merampas hak milik atas tanah warganya sendiri," tutur Sandyawan.
Sumber: ROL