Kisah Cinta Palestina Untuk Kemerdekaan Indonesia


"Merdeka!!!"

Oleh Eko Novianto

Masyarakat Palestina secara de facto mengakui RI sebagai negara yang merdeka setahun sebelum kemerdekaan RI yang sebenarnya, yaitu tepatnya pada tanggal 6 September 1944. Pengakuan tersebut disebarluaskan ke seluruh dunia Islam oleh seorang Mufti Besar Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini. Pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia ini bertepatan dengan janji-janji yang dikeluarkan oleh Jenderal Kuniaki Koiso (P. M. Jepang) terhadap kemerdekaan negara Indonesia.

[Muhammad Zein Hassan, Lc, Ketua Panitia Pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia, dalam bukunya "Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri", menyatakan dalam bukunya pada hal. 40, menjelaskan tentang peran-serta, opini dan dukungan nyata Palestina terhadap kemerdekaan Indonesia, di saat negara-negara lain belum berani untuk memutuskan sikap.

Dukungan Palestina ini diwakili oleh Syekh Muhammad Amin Al-Husaini -mufti besar Palestina- secara terbuka mengenai kemerdekaan Indonesia:

"..,pada 6 September 1944, Radio Berlin berbahasa Arab menyiarkan 'ucapan selamat' mufti Besar Palestina Amin Al-Husaini (beliau melarikan diri ke Jerman pada permulaan perang dunia ke dua) kepada Alam Islami, bertepatan 'pengakuan Jepang' atas kemerdekaan Indonesia. Berita yang disiarkan radio tersebut dua hari berturut-turut, kami sebarluaskan, bahkan harian "Al-Ahram" yang terkenal telitinya juga menyiarkan."

Syaikh Muhammad Amin Al-Husaini dalam kapasitasnya sebagai Mufti Palestina juga berkenan menyambut kedatangan delegasi Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia yang datang ke Kairo Mesir dan memberikan dukungan penuh.

Mufti Palestina Syekh Muhammad Amin Al-Husaini menyambut delegasi "Panitia Pusat Kemerdekaan Indonesia"

Peristiwa bersejarah tersebut tidak banyak diketahui generasi sekarang, mungkin juga para pejabat dinegeri ini. Bahkan dukungan ini telah dimulai setahun sebelum Sukarno-Hatta benar-benar memproklamirkan kemerdekaan RI.

Tersebutlah seorang Palestina yang sangat bersimpati terhadap perjuangan Indonesia, Muhammad Ali Taher. Beliau adalah seorang Pemimpin dan saudagar kaya Palestina yang spontan menyerahkan seluruh uangnya di Bank Arabia tanpa meminta tanda bukti dan berkata: "Terimalah semua kekayaan saya ini untuk memenangkan perjuangan Indonesia ..."]

Setelah itu disusul Mesir secara de facto 22 Maret 1946 dan secara de jure 10 Juni 1947, disusul pengakuan Siria, Irak, Saudi Arabia, Afghanistan dan Turki mendukung dan membantu dana RI yang masih muda. Fakta ini menjadi salah satu alasan mengapa kita peduli pada masalah negara dan bangsa Palestina.

Demikian kira-kira, beberapa kali ditulis oleh beberapa orang.

Tulisan semacam itu sangat perlu untuk terus diproduksi, diulang-ulang, dan memanfaatkan momentum.

Ada dua alasan. Pertama, karena itu fakta. Kedua karena tulisan itu berpotensi membuat koreksi atas semangat anti arab yang berlebihan.

Tulisan semacam perlu agar mereka yang sedang genit dengan tema anti arab jadi mati gaya. Syukur-syukur jadi sadar atau insyaf. Pikiran anti-antian semacam itu tidak lazim dalam pergaulan bangsa-bangsa dunia sejak dahulu.

Tapi, di sisi yang lain, generasi muda muslim negeri ini juga harus berani memgoreksi diri. Bahwa ada nilai-nilai arab yang tidak harus. Ada hal arab yang lebih pada kebiasaan dan diterapkan agak berlebihan. Generasi muda muslim harus berani membongkar kejumudan dan membuang rasa malas.

Anak-anak muda Islam harus terus bekerja bersama semua elemen yang cinta pada bangsa ini dan tak terlalu mudah lelah untuk menemukan gaya dan cara yang menimbulkan rasa nyaman dan aman pada publik.

Merdeka itu bukan bebas. Merdeka itu selalu berpikir dan berani mengambil keputusan.

Merdeka!!!

Jakarta, 17 Agustus 2015