Memang itu sudah watak alamiah kita, kalau kita melihat "pemukiman kumuh" di bantaran sungai, asosiasi kita langsung menuduh mereka penyebab banjir yang harus segera digusur demi kepentingan orang banyak.
Pikiran yang sama tidak akan muncul ketika kita melihat apartemen atau pemukiman mewah yang ada di bantaran sungai juga. Ini soal pemikiran spontan. Naluri.
Begitu juga soal "tanah negara", jarang yang mau tahu kalau banyak pemukiman menengah ke atas yang berdiri di atas tanah negara. Memang benar, pembelaan bisa dibuat: pengembang mendapat tanah negara itu secara legal.
Masalahnya, "tanah negara" itu untuk apa? Kenapa pengembang bisa mendapatkannya dan orang miskin tidak bisa yang dari sana logika ini muncul: mereka tidak berhak mendapat ganti rugi meski sedari dulu mereka membayar pajak bumi bangunan dan punya perangkat kelurahan.
Jadi sejak di pikiran kita memang RASIS, bukan pada ras atau agama, tapi pada status ekonomi. Benarlah sabda Marx, semua itu dilihat pada dialektika materialismenya.
Demikian kalau kelas menengah yang anti kekerasan dan memuja-muja pendekatan humanis tapi nalar itu hilang ketika melihat penggusuran dengan kekerasan.
Bagi mereka harus ada yang dikorbankan demi kepentingan orang banyak, asal bukan mereka yang berkorban.
Hukum adalah hukum, katanya, sambil pura buta bahwa hukum kita masih tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Kepedulian pada soal-soal sosial politik dari kelas muda menengah terdidik kita yang bersamaan dengan geliat sosial media selama 5 tahun terakhir memang menggembirakan.
Tapi absennya mereka dari kegiatan berserikat berkumpul, bersosial politik sejak lama, berdampak pada pincangnya kacamata, tidak konsistennya standar keberpihakan, dan lemahnya basis nalar ideologi mereka.
Mereka tak akan pernah berpihak pada kaum miskin sebab mereka tidak tahu seperti apa kemiskinan.
(Priyo Jatmiko)