Oleh: KH. Lutfi Hakim*
(Ketua Forum Betawi Rempug)
Ketika membaca narasi sandiwara “The Hotel in Amsterdam”, kita akan menemukan nasihat menarik dari John Osborne tentang pers. Kata Osborne, “Pers adalah cermin. Jangan sekali-kali mempercayai cermin!”
Sejak digelarnya rapat paripurna DPRD DKI untuk menyetujui hak angket bagi Ahok, nasihat John Osborne menjadi relevan. Ahok yang pengecut dan hanya pandai membacot tidak berani datang kepada DPRD DKI untuk mengklarifikasi kenapa APBD ditolak mendagri. Tapi lebih menyukai polemik di media dengan teriakan maling anggaran kepada DPRD DKI.
Ahok memanfaatkan media secara massif sebagai sarana membangun opini bahwa dirinya adalah “pahlawan APBD”. Ayat-ayat konstitusi yang pada awalnya diyakininya berada di atas ayat-ayat kitab suci mulai tak lagi memenuhi ruang keimanannya. Perlahan Ahok menjerumuskan dirinya kepada kemurtadan terhadap ayat-ayat konstitusi dan mengalihkan imannya kepada ayat-ayat opini yang sesat.
Mari sejenak kita buka ayat-ayat konstitusi yang terdapat dalam UU No. 29 Tahun 2007 Tentang Pemerintahan Propinsi DKI Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia. UU ini adalah lex specialist dari undang-undang pemerintahan daerah yang berlaku khusus hanya untuk Propinsi DKI Jakarta, dan tidak berlaku untuk pendukung hashtag “save Ahok yang mayoritas berada di luar Jakarta.
Menurut UU ini, DPRD DKI berposisi integral dengan Gubernur dan Wakil Gubernur dalam menyelenggarakan pemerintahan DKI Jakarta. Oleh karena itu, maka tentu saja pengesahan RAPBD dilakukan secara bersama oleh ketiganya sehingga menjadi Perda APBD.
Kebijakan pemerintahan tetap menjadi ranah eksekutif yang tanggung jawabnya berada di tangan Gubernur dan Wakil Gubernur. Selaku pengambil kebijakan, tentu dibutuhkan lembaga kontrol, yang tugas konstitusionalnya melekat pada DPRD DKI sebagai lembaga perwakilan.
DPRD DKI wajib proaktif melakukan pengawasan atas kinerja dan kebijakan Gubernur dan Wakilnya melalui fungsi yang dimilikinya, yaitu legislasi, anggaran dan pengawasan. Tambahan lagi, DPRD DKI pastinya memiliki hak penganggaran dan belanja daerah serta kontrol terhadap eksekutif saat menggunakan anggaran.
Dalam menjalankan fungsi kontrolnya, DPRD menggunakan Hak Angket untuk menyelidiki dugaan pelanggaran hukum dalam penyampaian APBD ke Mendagri oleh Gubernur. Jadi, pengajuan Hak Angket sudah semestinya didasari pada kepatuhan terhadap ayat-ayat konstitusi, termasuk di dalamnya UU No. 29 Tahun 2007 tersebut.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa APBD 2015 belum disetujui oleh Mendagri lantaran belum lengkap dan tidak memenuhi struktur dan format penyusunan anggaran. Dalam hal ini, Ahok berpotensi melanggar ayat-ayat konstitusi: (1) Pasal 47 Peraturan Pemerintah No. 58/2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah; dan (2) Permendagri No 13/2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah.
Selain itu, berdasarkan keterangan Dirjen Keuangan Daerah Kemedagri terkait APBD 2015 versi Ahok (bukan hasil pengesahan DPRD DKI), telah ditemukan fakta bahwa (a) tidak adanya Lampiran 1A, yakni ringkasan APBD; (b) tidak adanya belanja tidak langsung Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD); dan (c) format dan struktur APBD tidak sesuai Perpu No. 58 Tahun 2005 dan Permendagri No. 13 Tahun 2006.
Ahok semestinya paham bahwa manajemen keuangan daerah harus haruslah didasari pada prinsip ayat-ayat konstitusi bukan pada ayat-ayat opini. Jadi, tidak asal main tabrak atau membegal seenaknya, karena merasa punya kekuatan media.
Akhirnya, masihkan pers dianggap sebagai cermin yang dipercaya? Jangan rusak nalar kita dengan hal-hal yang nampak di permukaan, sebab ada gunung es dalam setiap peristiwa. Mari kita selami dengan bijak dengan mengembangkan nalar kritis atas setiap pemberitaan media.
Salam Rempug…!!!
sumber: suarajakarta.co