Fauzil Adhim: Pengalaman Pribadi Jangan Buru-buru Jadi Acuan dan Kesimpulan


*Tulisan (notes) Ustadz Mohammad Fauzil Adhim, penulis buku ternama dari Yogyakarta, di wall facebooknya (29/9/2015).

Suatu saat saya pernah mengalami mules yang amat sangat. Perasaan saya sudah tidak enak. "Diare," saya membatin. Tetapi sesakit apa pun tidak mungkin saya ke kamar kecil karena sudah panggilan boarding dari Kualalumpur menuju Hong Kong. Waktu terlalu pendek jika harus ke kamar kecil dulu. Tetapi menunggu diizinkan untuk memanfaatkan fasilitas kamar kecil di pesawat, belum memungkinkan. Terasa makin panjang waktu untuk menunggu, dan kian sakit terasa, karena untuk pesawat berbadan besar perlu persiapan lebih lama, jarak ancang-ancang untuk take off yang lebih jauh.

Keringat dingin pun keluar. Betul-betul kegelisahan yang sempurna. Dan begitu tanda kenakan sabuk pengaman dimatikan, saya segera beranjak ke kamar kecil. Seorang pramugari sempat mau mencegah. Mungkin khawatir karena semenjak naik pesawat, saya sudah menampakkan wajah gelisah dan cemas, seolah menunggu kesempatan melakukan sesuatu.

Ini merupakan pengalaman pribadi. Saya sendiri yang mengalami. Peristiwanya di Kualalumpur. Pengalaman yang benar-benar sangat tidak menyenangkan. Tetapi apakah ini patut untuk menjadi acuan saya mengambil kesimpulan bahwa bandara KLIA, atau bahkan lebih luas lagi Kualalumpur, atau semakin luas lagi Malaysia, tidak menyenangkan dan bahkan menyengsarakan? Tidak. Itu sama sekali tidak mencukupi untuk mengambil kesimpulan. Saya menemukan banyak pengalaman menarik dan berharga di Malaysia, lebih-lebih di Bangi. Selama ini untuk route penerbangan yang sangat jauh ke negeri lain, Malaysia Airlines bahkan menjadi pilihan untuk kemantapan halalnya sajian di pesawat.

Ini adalah contoh sederhana betapa pengalaman tidak dapat begitu saja menjadi dasar untuk mengambil kesimpulan, terlebih jika berkait dengan masalah hukum maupun baik buruknya tuntunan. Yang lebih mudah kita lihat adalah pengalaman traumatis yang menimbulkan phobia. Misalnya ada orang yang mengidap claustrophobia, yakni ketakutan terhadap ruang sempit semisal lift, kamar kecil yang ukuran memang kecil semacam di pesawat pada umumnya (soalnya ada juga yang cukup besar) atau yang sejenis. Ini adalah phobia. Penderitanya benar-benar mengalami ketakutan yang sangat mengganggu. Tetapi apakah itu dapat dipakai untuk menyimpulkan bahwa lift sangat tidak baik, kamar kecil di pesawat menakutkan, dan sejenisnya? Tidak. Sama sekali tidak. Pengalaman pribadi tidak dapat menjadi acuan. Jika kita memiliki pengalaman buruk atau tidak menyenangkan dari sesuatu yang seharusnya baik, maka diri kitalah yang perlu kita periksa. Atau bahkan kita yang perlu menjalani terapi.

Dalam beragama, kita pun tidak dapat menjadikan pengalaman pribadi sebagai dasar untuk menilai baik dan buruk, kecuali jika ada dalil yang jelas. Apalagi jika suatu itu merupakan perintah yang sangat jelas dalam agama, tidak ada perbedaan pendapat di antara para ulama mengenai kedudukan hukumnya.

Itu sebabnya kita perlu membiasakan diri mengembalikan kepada tuntunan agama berdasarkan pemahaman para ulama dari kalangan salafush shalih. Bukan mendasarkan pada perasaan pribadi atau pendapat yang kadang merupakan reaksi spontan bersifat dangkal. Jika kita belum sanggup untuk memahami hikmah dari suatu perintah misalnya, maka menahan diri dari mengeluarkan komentar akan jauh lebih baik. Sesungguhnya yang paling layak bagi kita pada saat seperti itu adalah, bertanya kepada orang yang 'alim lagi faqih dalam majelis ilmu. Bukan melemparkan pertanyaan terbuka di social media dimana setiap orang dapat menjawab, baik dari kalangan ulama maupun juhala.

Adapun jika kita mendapati hikmah dari suatu perintah, sesungguhnya ini merupakan amanah untuk semakin mempelajari agama ini. Hikmah dari perintah bukanlah alasan diperintahkannya sesuatu. Bahkan boleh jadi itu bukan hikmah, melainkan sesuatu yang kita sangka sebagai hikmah, padahal bukan. Maka apabila kita mendapati apa yang kita sangka sebagai hikmah, tetapi dampaknya justru membuat kita semakin yakin kepada "pengetahuan tentang hikmah" dan bukannya kembali kepada agama, ini dapat menjadi sebab tergelincirnya kita. Menyangka menjalankan as-sunnah, padahal sedang mengamalkan al-matsnah.*

*Sumber: fb