Kabinet Gaduh, Pers Dituduh
Oleh: Nasihin Masha*
(Pimred Harian Republika)
Dalam suatu obrolan ringan, Ilham Bintang, wartawan senior yang juga ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat, mengeluh. Belum setahun berkuasa, Presiden sudah menjadikan pers sebagai pihak tertuduh. Pemilik dan pemimpin redaksi kelompok media Cek & Ricek itu masygul dengan pernyataan Presiden Joko Widodo. Colekan Presiden diungkapkan dalam pidato kenegaraannya yang pertama, sebuah pidato bergengsi di MPR setiap menjelang peringatan kemerdekaan Indonesia.
“Keadaan ini menjadi semakin kurang produktif ketika media juga hanya mengejar rating dibandingkan memandu publik untuk meneguhkan nilai-nilai keutamaan dan budaya kerja produktif,” kata Presiden, Jumat, 14 Agustus 2015. Ada yang menafsir bahwa pidato itu ditujukan ke televisi. Ini semata karena diksi “rating” yang hanya dikenal dalam pertelevisian. Di media cetak dikenal istilah tiras. Sedangkan di media online dikenal istilah viewer. Namun demikian, tak sedikit yang menafsirkan bahwa hal itu ditujukan untuk semua media. Substansinya memang ke sana.
Jika itu menyangkut televisi maka “rating” tayangan berita di televisi – kecuali TV One dan Metro TV – hanyalah minoritas belaka, karena yang terbanyak adalah sinetron dan reality show. Memang ada infotainmen, yang baru beberapa waktu lalu oleh PWI sudah dimasukkan ke dalam kategori pers. Namun melihat langkah Presiden berikutnya, tampaknya colekan itu memang ditujukan kepada pers secara umum. Beberapa hari kemudian, Rabu, 19 Agustus 2015, Presiden mengundang makan malam sejumlah pemimpin redaksi media massa yang tergabung dalam Forum Pemimpin Redaksi. Presiden kembali mengulang pernyataannya. Presiden meminta agar pers menjadi pemandu dan membangun optimisme publik, membangun rasa percaya diri dan memantik masyarakat untuk bekerja lebih keras serta bukan malah mendown grade dan membuat gaduh. Ada keresahan di kementerian dan pemerintah daerah soal pers.
Sekretaris Kabinet, Pramono Anung Wibowo, seperti dimuat situs setkab.go.id, membantah bahwa Presiden mulai gerah dengan berita-berita kritis dari media. Inilah kutipan pernyataannya: “Presiden meminta media itu silakan mengkritik dengan keras ataupun menampilkan hal yang dalam bahasa beliau untuk keperluan rating atau sensasi, tetapi tidak menghilangkan tugas media bagaimana membangun, membawa publik pada persepsi positif terhadap keinginan maju.”
Mungkin Jokowi mengucapkan hal itu sebagai semacam panggilan kepada insan media. Ada situasi yang membutuhkan sikap bersama dibandingkan mengagulkan ego masing-masing. Ekonomi Indonesia “mengalami pelambatan” -- Jokowi menampik diksi krisis. Krisis ekonomi dunia, yang pasti berdampak ke Indonesia, berbarengan dengan pergantian pemerintahan. Pada sisi lain, pemerintahan baru ini harus dikonsolidasi dulu karena Jokowi bukan pimpinan partai, koalisi pemenang pilpres tak menguasai parlemen, dan pilpres lalu yang terpolarisasi secara tajam dalam dua kubu. Konsolidasi politik telah tuntas, karena itu Jokowi sedang masuk ke ekonomi dan pembangunan pada umumnya: mewujudkan program dan menunaikan janji.
Berdasarkan data yang ada, fundamental ekonomi Indonesia relatif kuat. Hal ini terlihat dari cadangan devisa, rasio utang, inflasi, neraca ekspor-impor, pertumbuhan GDP, dan depresiasi. Demikian pula data-data perbankan seperti kredit macet (NPL), rasio kecukupan modal (CAR), dan rasio penyaluran kredit (LDR). Indikator-indikator ini pada saat ini masih lebih baik dibandingkan dengan situasi 1997, 1998, bahkan saat krisis 2008. Lalu mengapa rupiah terjun bebas mendekati angka 1998? Indeks harga saham gabungan juga terus merosot namun tetap lebih baik dibandingkan 2008. Jadi yang paling menonjol adalah nilai tukar rupiah. Namun kekhawatiran publik demikian kuat. Inilah yang oleh Budi G Sadikin, dirut Bank Mandiri, disebut sebagai masalah trust and confidence terhadap kondisi ekonomi. Bisa diplesetkan ada ketidakyakinan terhadap kemampuan pemerintah. Karena itu obatnya bukan ekonomi tapi membangun saling pengertian, kebersamaan, dan optimisme. Dalam konteks itulah colekan Presiden terhadap pers dijulurkan.
Selain bertemu para pemimpin redaksi, Presiden juga mengadakan pertemuan dengan para rektor perguruan tinggi, wartawan ekonomi, ekonom, pemilik media, para pengusaha kakap, para nasabah kakap di bank, dan sebagainya. Hasilnya? Hingga kini belum cespleng. Paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, BI, dan OJK masih tak mempan. Rupiah masih terus melemah dan indeks saham juga terus turun.
Ada sebuah ironi. Malam itu para pemimpin redaksi dijamu makan malam presiden dan diminta untuk membangun optimisme dan memandu publik dengan nilai-nilai utama. Namun saat menunggu jadwal pertemuan, sebagian pemimpin redaksi sudah ada yang kongkow di halaman Istana. Saat itu mereka bertemu Menko Maritim dan Sumberdaya yang baru diterima Presiden. Saat itulah frasa Rajawali Ngepret dikeluarkan Rizal Ramli, sebuah frasa yang sangat ngelead bagi insan pers. Rizal menyandarkan istilah itu pada perseteruannya dengan Wapres Jusuf Kalla. Mereka debat di media massa tentang pembangunan pembangkit listrik 35 ribu megawatt, bahkan Rizal menantang debat terbuka. Sebelumnya Rizal juga membuat kontroversi tentang pembelian pesawat oleh Garuda Indonesia. Menteri BUMN Rini M Soemarno langsung bereaksi dan menegaskan bahwa Garuda tak berada dalam lingkup kewenangan Rizal.
Deretan kegaduhan yang diciptakan pemerintah lebih panjang lagi. Salah satunya penggerebekan Pelindo II oleh Bareskrim Polri. Tak ada yang salah karena itu penegakan hukum. Yang kemudian disoal adalah kehadiran wartawan, yang memberi kesan bahwa hal itu disengaja. Rupanya pemerintah telah membuat kesepakatan bahwa ekspose ke pers setelah penetapan tersangka. Lalu muncul perlawanan dari Pelindo II, muncul pula Sofjan Djalil dan Kalla. Kita juga masih ingat pada kontroversi pencopotan Gobel, pencopotan dirut Bulog yang baru menjabat beberapa bulan, pemanfaatan celah hukum oleh Kemenkumham dalam perpecahan Golkar dan PPP, serta kegaduhan proses tender kereta cepat Bandung-Jakarta. Semua itu tentu disaksikan rakyat dan investor. Kegaduhan itu bahkan sudah dimulai sejak awal, ketika KIH dan KMP berseteru berebut kursi pimpinan DPR dan MPR serta alat kelengkapannya.
Hingga kini, secara umum, sikap pers tetap mendukung pemerintah. Tidak ada media mainstream yang mengambil sikap oposisional. Pemberitaan kegaduhan yang bersumber dari pemerintah tidak dijadikan bahan bullying, hanya diberitakan dalam batas menyampaikan informasi dan mencari kebenaran. Aksi unjuk rasa buruh, guru, dan mahasiswa yang mengkritisi pemerintah relatif tak mendapat tempat di media.
Dalam teori jurnalistik, ihwal hubungan pers dengan pemerintah dibedakan dalam lima jenis: watch dog (anjing pengawas), guard dog (anjing penjaga), lap dog (anjing penjilat), circus dog (anjing sirkus), stupid dog (anjing bodoh). Pers yang sehat pasti akan mengambil posisi sebagai watch dog. Sedangkan empat kategori lain sudah masuk kategori buletin pemerintah.
Tentu pers harus bersikap positif terhadap colekan Presiden tersebut. Sejarah pers Indonesia sudah cukup panjang. Pers tak hanya berhasil lolos dari beragam ujian di kala negeri ini menghadapi krisis 1965, 1998, maupun pilpres 2014 yang bipolar, tapi justru menjadi pemandu jalan dan pembangun optimisme. Harapan Presiden adalah sejarah pers Indonesia.[]
Sumber: Kolom Resonansi Republika (25/9/2015)