'Tambang Emas' Bioeconomy Untuk Solusi Asap


Oleh: Muhaimin Iqbal*
Entrepreneur Muslim, Direktur Gerai Dinar

Beberapa hari ini media massa se Asia Tenggara ramai membicarakan karya monumental tahunan kita yaitu asap! seolah tidak berdaya masyarakat dibuatnya –hidup dalam kepungan asap setiap tahun. Bukan hanya masyarakat setempat yang mayoritas menjadi korbannya, kini masyarakat di negeri-negeri jiran sampai Thailand selatan-pun ikut merasakan asap dari Indonesia ini. Sebagai warga negara yang baik, tentu saya ingin berkontribusi sejauh yang saya bisa lakukan atau pikirkan. Saya melihat solusi yang sangat terang di bioeconomy!

Intinya adalah merubah mindset, yang selama ini masyarakat melihat semak belukar itu sebagai sampah yang harus disingkirkan atau setidaknya membiarkannya terbakar habis dengan sendirinya –menjadi masyarakat yang bisa melihat ‘tambang emas’ di semak belukar tersebut.

Saya katakan ‘tambang emas’ karena begitu masyarakat memahami dan menghayati konsep “…Rabbana maa khalakta haadzaa baatila…Ya Rabb kami, tidak ada yang sia-sia dari yang Engkau ciptakan ini…”, maka seketika itu pula masyarakat akan rajin mencari manfaat dari setiap yang dijumpainya.

Untuk yang sekarang ter/di- bakar dan menggegerkan Asia Tenggara tersebut, kita akan bisa melihat bahwa hampir keseluruhan yang terbakar tersebut adalah sesungguhnya biomassa, baik dari daun-daun kering, batang dan ranting semak belukar –semuanya yang tumbuh melimpah di negeri yang banyak mendapatkan keberkahan dari hujan ini.

Biomassa inilah yang sesungguhnya adalah ‘tambang emas/barang berharga dan tambang energi-nya’ bioeconomy. Ketika mindset manusia sekarang masih berada di era fosil-based economy, maka penggerak ekonomi itu adanya di energi dari fosil dan produk-produk lain dibuat dari hasil samping energi fosil tersebut.

Mulai dari pakaian, jalan raya, plastic dan berbagai benda-benda yang ada di sekitar kita – mayoritasnya dibuat dari bahan sintetis yang berasal dari hasil samping industry minyak tersebut.

Ketika mindset kita bisa maju selangkah, bukan mengandalkan hasil tanaman jutaan tahun lalu (yaitu yang teah berubah menjadi fosil) tetapi memanfaatkan seluruh hasil tanaman yang tumbuh sekarang – maka kita akan bisa melihat ‘tambang emas’ dan ‘tambang energi’ yang sama dari tanaman apapun yang ada di sekitar kita.

Sama dengan tanah penghasil tambang emas atau tambanng minyak, bagi masyarakat awam – tidak bisa melihat nilai dari tanah tersebut, karena pada umumnya tidak mampu mengolahnya. Ditangan perusahaan eksplorasi pertambangan, baru bisa dideteksi cadangan emas/minyak yang ada di dalamnya – setelah itulah orang baru memperebutkannya.

Demikian pula dengan biomassa, pada umumnya masyarakat yang melihat semak belukar hanyalah seperti sampah yang harus disingkirkan atau dibakar. Maka diperlukan para ahlinya untuk bisa mengolah biomassa tersebut menjadi barang-barang ekonomi yang sangat berharga.

Secara umum selain kandungan air, biomassa itu mengandung tiga hal yang dominan yaitu cellulose, hemi cellulose dan lignin. Ketika masih tergabung dalam bahan baku apakah berupa kayu atau batang pisang misalnya, orang tidak melihat nilainya. Tetapi begitu ketiganya dipisahkan – masing-masing memiliki kegunaan dan nilai ekonomi yang tinggi.

Semakin kita bisa memisahkannya, semakin tinggi pula nilainya. Perhatikan kesamaan prinsip ini dengan harta. Ketika harta itu dikumpulkan di satu atau beberapa tangan yang sedikit – ditimbun – harta itu tidak memberi manfaat, bahkan pemiliknya diancam hukuman yang sangat pedih (QS 9:34), ketika dipisahkan (diputar), apalagi disedekahkan – barulah dia memberi manfaat yang maksimal sampai 700 kali atau lebih (QS 2:261).

Itulah yang terjadi di negeri ini ketika kita tidak mengolah harta berupa biomassa yang sangat banyak diberikan Allah tersebut di atas. Biomassa yang tidak kita olah tersebut menimbulkan musibah bagi masyarakat yang sangat luas.


Tanggung jawab kita semua untuk bisa mengolahnya, karena bila tidak – jangan heran bila musibah asap yang sama akan mengenai kita juga nantinya. Maka sebelum itu terjadi dan menjadi semakin tidak terkendali, perubahan mindset terhadap biomassa inilah yang harus dilakukan.

Kita harus menangis sedih bila melihat rumput-pun dibakar, apalagi ini biomassa yang begitu besar volumenya. Setelah kesedihan atau keprihatinan ini muncul, barulah akan muncul upaya maksimal kita untuk mencegah hal yang serupa terjadi.

Untuk mengolah biomassa ini-pun sebenarnya tidak sesulit dan semahal ekplorasi minyak atau tambang emas. Saya yakin sekali para bioproses engineer di negeri ini insyaAllah sudah akan mampu melakukannya dengan baik.

Untuk memisahkan biomassa berupa pohon sampai batang pisang misalnya, setidaknya saya menemukan ada 11 teknologi yang sudah dikembangkan di dunia. Para pelakunya sedang berlomba untuk mengunggulkan teknologi yang dipilihnya agar dicapai efisiensi yang paling maksimal.

Kita bisa memilih salah satu atau kombinasi dari beberapa teknologi tersebut – untuk mencapai hasil yang optimal berdasarkan resources yang kita miliki. Bagi Anda para bioprocess engineer yang menguasai betul cara memisahkan biomassa menjadi cellulose –hemicellulose –lignin yang paling efektif, silahkan menghubungi kami bila tertarik bergabung.

Siapa tahu kita bisa beramal nyata, menangani proyek raksasa – yang pemerintah-pun nampak seolah tidak berdaya untuk menghentikan musibah asap yang berulang setiap musim kemarau dan dengan intensitas yang semakin tinggi.


Anda yang belum pernah tinggal di daerah yang terkena asap ini mungkin tidak tahu betapa seriusnya masalah ini, maka kita perlu berkontribusi maksimal – bila ada yang bisa kita lakukan untuk mencegahnya. InsyaAllah kita bisa bila ada kemauan yang kuat kearah sana. Amin.[]

*Sumber: geraidinar.com