Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengatakan rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang sedang dibuat lembaganya juga bakal mengatur batas dan arti penistaan agama. Rancangan itu bakal menyempurnakan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan Penodaan Agama.
Lukman menilai di dalam undang-undang tersebut masih ada kekosongan hukum. Undang-Undang Tahun 1965 itu menyebutkan bahwa penyimpangan adalah hal yang melenceng dari pokok-pokok agama. "Yang dimaksud dengan pokok-pokok itu tidak disebutkan di sana," kata Lukman di kantornya di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, Kamis, 26 Februari 2015.
Lukman mencontohkan, jika dia menghina sahabat Nabi Muhammad, apakah tindakan itu masuk kategori pelecehan agama atau tidak. Atau, kata dia, itu masuk dalam masalah perbedaan agama. "Ini pokok atau cabang dari sebuah kepercayaan?" katanya. Hingga kini masih belum jelas definisi suatu perbuatan dicap mendustakan dan menistakan agama.
Semisal juga masalah salat. Di Jombang, Jawa Timur, ada yang mendeklarasikan salat tiga waktu saja. "Yang ini menghina Islam atau sekedar perbedaan mahzab fiqih juga belum jelas," ucapnya. Contoh lain adanya spanduk yang bertuliskan menolak syiah atau wahabi. Menurut Lukman, hukum formalnya belum jelas apakah itu termasuk ekpresi kekebasan beragama atau sudah menghina.
Lukaman memastikan rancangan aturan ini tak akan masuk ke wilayah peribadatan atau akidah, yang menjadi domain pemuka agama. Pemerintah hanya mengatur pelaksanaan penyelenggaraan kegiatan agama agar antarumat beragama tak saling merasa terganggu. Rancangan yang ditargetkan rampung April ini juga bakal mengatur tentang pengadministrasian agama.
Adanya definisi baku tentang agama, ujar Lukman, negara memiliki data untuk menjamin, melindungi, dan melayani setiap umat beragama. Polisi misalnya, menurut Lukman, hingga saat ini tak cakap mengelola konflik yang melibatkan agama. "Karena regulasinya memang tak cukup," kata dia. Sehingga, agama malah menjadi akar penyebab konflik.
Lukman menilai langkah membuat rancangan ini tepat. Musababnya, potensi konflik atas dasar agama selama ini hanya disimpan. "Jangan diletakkan di bawah karpet. Harus ada konsensus," kata dia. Ia sadar rancangan yang masih dirahasiakan naskahnya ini tak akan bisa memuaskan semua pihak. "Tapi setidaknya ada titik optimal yang kita pahami."
Akademisi dari Universitas Paramadina Yudi Latif meminta pemerintah melindungi warganya hingga di level individu. Terhadap keyakinan yang tak mengganggu ketertiban umum, sepeti Sunda Wiwitan, Yudi ingin agar pemerintah melindungi eksistensinya. Yudi mengibaratkan agama sebagai anggur. "Ia bisa menghangatkan. Juga bisa membuat gila."
Sumber: TEMPO