Jokowi, A New Hope. Demikian yang tertulis dalam scene awal sebuah dialog interaktif antara Jokowi dan Budiman Tanuredjo, Pemimpin Redaksi Harian Kompas, yang disiarkan oleh Kompas TV.
Jokowi adalah harapan baru. Benarkah demikian?
Setidaknya, itulah yang ditangkap oleh Majalah TIME pada Oktober 2014 lalu ketika memutuskan untuk menjadikan potret Jokowi sebagai sampul depaan Majalah TIME edisi 27 Oktober 2014.
Judul sampul majalah itu tertulis, "A New Hope, Indonesian President Joko Widodo is a force for democracy". Wajah Jokowi pun terpampang secara close up.
Dalam foto bidikan jurnalis foto Adam Ferguson itu, Jokowi menampilkan sisi dirinya dengan kesan tegas dalam balutan kemeja batik. Wajahnya kaku tanpa senyum. Jokowi tampak meninggalkan kesan rileks yang selama ini ditunjukkannya.
Tak hanya sekedar menjadikan foto Jokowi sebagai sampul depan, TIME pun menuliskan artikel humaniora yang ditulis Hannah Beech. Hanna memulai artikel tersebut dengan cerita Jokowi yang tengah berada di penerbangan Garuda GA 226 tujuan Kota Solo. Saat itu, Jokowi yang duduk di kursi kelas ekonomi 42 K, mendapat perhatian seorang gadis cilik berusia 5 tahun bernama Shakira, yang kegirangan saat mengetahui dirinya sedang satu penerbangan dengan Jokowi.
Artikel itu menggambarkan, Jokowi adalah pemimpin yang nyaris tak berjarak dengan rakyatnya. Fakta memang menunjukkan demikian. Jokowi memang dekat dengan rakyatnya. Ia tak sungkan bersentuhan langsung dengan rakyat. Akan tetapi, cukupkah modal dekat dengan rakyat itu membawanya kepada kesuksesan sebagai seorang kepala negara?
Dalam kampanyenya, Jokowi yang sempat mengolok-olok SBY karena memiliki kabinet yang tambun, berjanji untuk membentuk kabinet yang ramping? Kini, dalam 100 hari pemerintahan Jokowi, publik mencatat, tak hanya miliki kabinet yang sama tambunnya dengan kabinet SBY, Jokowi ternyata menyediakan pos-pos baru dengan berbagai macam nama untuk menampung pihak-pihak yang telah membantunya menaiki tangga sukses sebagai presiden RI.
Masih terkait dengan kabinet, Jokowi yang janji tak akan bagi-bagi kursi, ternyata menyerahkan sebagian besar kursi dei kabinetnya. Bahkan, untuk menteri yang -katanya- berasal dari profesional, Jokowi masih memilih menteri yang dekat dan banyak membantu PDI P. Termasuk pula, keputusan Jokowi untuk mengangkat Jaksa Agung yang berasal dari partai Nasdem, yang juga melanggar janji kampanyenya. Semua dilakukan Jokowi tanpa merasa sungkan dan malu karena telah mengelabui pemilihnya.
Keputusan spektakuler Jokowi berikutnya tentu tak akan hilang dari ingatan bangsa ini. Jokowi memangkas subsidi BBM dan menaikkan harga BBM di saat harga minyak mentah dunia merosot tajam. Keputusan Jokowi tersebut berefek terciptanya ruang fiskal bagi pemerintah. Kini ketika genap 100 hari, harga BBM masih tetap lebih mahal ketimbang sebelum kenaikan.
Meskipun nampak kecil dan sepele, pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, meski mendapat tentangan keras dari Partai Gerindra dan ormas di Jakarta, tetap dilakukan Jokowi di istana. Suara rakyat, tak didengarnya lagi.
Begitu pula, Jokowi yang berjanji akan menindak tegas para pelanggar HAM berat, ternyata malah dengan santainya menempatkan mereka di posisi yang sangat erat dengannya di lingkup istana. Jokowi pun tampak tak peduli menyikapi kematian pemuda-pemuda Paniai yang ditembak mati oleh TNI, hingga Franz-Magnis Suseno, SJ, seorang rohaniwan Katolik yang mendukungnya sebagai presiden, meneriakkan bahwa Jokowi tak lebih baik daripada pendahulu-pendahulunya.
Kini, yang masih hangat diperbincangkan adalah penunjukkan seorang Komjen polisi, yang dinyatakan KPK sebagai pemilik rekening gendut, sebagai calon tunggal Kapolri dan setelah memberhentikan dengan hormat Kapolri yang masih aktif, Jendral Sutarman.
Penunjukan ini menuai gunjang ganjing nasional karena KPK akhirnya menetapkan status calon Kapolri tersebut sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi. Kasus ini terus bergulir dan memicu konflik berkepanjangan hingga hari ini. Anehnya, Jokowi sebagai pencetus kasus ini, tak merasa bersalah dan malah dengan ringan mengatakan bahwa ia tak dapat mengintervensi kasus hukum yang melibatkan KPK dan Polri ini.
Dalam wawancara ekslusif Kompas TV, Jokowi yang nampak terbata-bata seraya membaca catatan ketika menjawab pertanyaan jurnalis senior sekaligus pemimpin redaksi harian Kompas, Budiman Tanuredjo, sama sekali tak menunjukkan kapasitasnya sebagai pemimpin negara sekaligus sebuah harapan baru bagi bangsa Indonesia. [Video Wawancara Ekslusif Jokowi: https://www.youtube.com/watch?v=nkHMx9HFS1U&feature=youtu.be]
Jika TIME menuliskan Jokowi: A New Hope, maka WAKTU 100 hari telah menuliskan, Jokowi A New Hopeless. [fs]