Menjama' Shalat Jumat Dengan Shalat Ashar, Emang Boleh?


Pada dasarnya para ulama sepakat bahwa seorang musafir tidak diwajibkan untuk mengerjakan shalat Jumat, dan untuk itu dia cukup mengerjakan shalat Dzhuhur saja. Dan para ulama juga sepakat bahwa bila seorang musafir dalam perjalanannya mampir di suatu masjid yang sedang berlangsung shalat Jumat lalu ikut dalam shalat Jumat itu, maka kewajibannya untuk shalat Dzhuhur menjadi gugur.

Apakah seusai mengerjakan shalat Jumat itu seorang musafir boleh langsung mengerjakan shalat Ashar dengan cara dijama', sebagaimana menjama' antara shalat Dzhuhur dengan shalat Ashar?

Dalam hal ini berkembang perbedaan pendapat di kalangan ulama. Jumhur ulama berpendapat bahwa shalat Jumat sebagaimana shalat Dzhuhur, bisa dijama' dengan shalat Ashar. Sementara sebagian ulama yang lain, dalam hal ini mazhab Al-Hanabilah, berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa shalat Jumat tidak bisa atau tidak boleh dijama' dengan shalat Ashar.

Berikut ini adalah rincian perbedaan pendapat di tengah ulama :

1. Boleh

Yang berpendapat bahwa shalat Jumat boleh dijama' dengan shalat Ashar adalah Jumhur ulama seperti mazhab Al-Hanafiyah, Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah.

Pendapat mazhab Al-Malikiyah bisa kita temukan tercantum dalam kitab-kitab mazhab tersebut antara lain kitab Syarah Al-Kharsyi wa Hasyiyatu Al-Adwi dan kitab Man'u Al-Jalil .

Pendapat mazhab Asy-Syafi'iyah dapat kita temukan dalam kitab-kitab mazhabnya antara lain kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab , kitab Asna Al-Mathalib , dan kitab Tuhfatul Habib .

Kalau kita telaah secara mendalam apa yang dijadiakn sebagai dasar atas pendapat mereka, maka bisa kita jabarkan menjadi beberapa poin penting, antara lain :

a. Tidak Adanya Nash Yang Melarang

Jumhur ulama menyebutkan bahwa tidak ada nash dari Nabi SAW atau pun dari para shahabat beliau yang melarang shalat Jumat dikerjakan dengan cara dijama' dengan shalat Ashar. Tidak ada satu pun nash yang sharih tentang hal itu, meskipun juga tidak ada nash yang membolehkan.

Namun menurut Jumhur, seandainya menjama' antara shalat Jum'at dan shalat Ashar itu tidak boleh, seharusnya ada kita dapat larangan itu. Hal itu mengingat bahwa setiap orang pasti tidak terhindar dari melakukan safar di hari Jumat.

Perjalanan antara Mekkah dan Madinah biasa ditempuh dalam waktu seminggu, pastilah semua orang yang menempuh jarak itu akan melewati hari Jumat di dalam perjalanan.

b. Ittihadul Waqti

Jumhur ulama mengatakan bahwa meski shalat Jumat dan shalat Dzhuhur itu berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan yaitu ittihadul waqti (إتحاد الوقت). Maksudnya, antara kedua punya waktu pelaksanaan yang satu, yaitu sejak tergelincir (zawal) matahari hingga masuknya waktu shalat Ashar.

Maka kalau shalat Dzhuhur boleh dijama' dengan Ashar, otomatis shalat Jumat yang waktunya sama dengan shalat Dzhuhur pun berarti boleh dijama' dengan shalat Ashar

c. Kesamaan 'Illat

Dalam pandangan Jumhur ulama, meskipun antara shalat Jumat dan shalat Dzhuhur ada perbedaan dalam hukum dan ketentuan, namun tidak bisa dipungkiri bahwa antara kedua ada begitu banyak persamaan dan 'illat.

Menurut Jumhur ulama, salah satu hikmah dari dibolehkannya menjama' dua shalat di satu waktu adalah karena syariat Islam punya prinsip untuk memberi keringanan.

Maka akan menjadi tidak konsisten apabila harus dibedakan antara shalat Jum'at dan shalat Dzhur dalam hal kebolehan untuk dikerjakan dengan cara dijama' dengan shalat Ashar.

Bukankah seorang musafir boleh dan bebas memilih untuk melakukan atau tidak melakukan shalat Jum'at? Lantas mengapa kalau musafir itu memilih untuk mengerjakan shalat Jumat, keringanan yang Allah berikan kepadanya sebagai musafir harus dicabut?

Apa kesalahan yang telah dilakukan oleh musafir itu sehingga dia kehilangan hak untuk menjama' shalatnya?

d. Kebolehan Qiyas

Dengan begitu banyak terdapatnya kesamaan hukum dan illat antara shalat Jumat dan shalat Dhuhur, maka boleh saja antara keduanya dilakukan qiyas.

Salah satu shahabat yang menqiyas antara shalat Dzhuhur dengan shalat Jumat adalah Anas bin Malik radhiyallahuanhu. Dan qiyas ini juga didukung oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam kitab Fathul Bari.

e. Prinsip Keringanan

Pada dasarnya Allah SWT sebagai pembuat syariah telah memberikan keringanan kepada para musafir dalam menjalankan ibadah shalat dengan adanya jama' antara dua waktu shalat.

Maka selama seseorang menjadi musafir, adalah merupakan ketentuan dari Allah bahwa dia berhak mendapatkan keringanan, tanpa harus dibedakan apakah dia menjama' shalat Dzhuhur dengan shalat Ashar ataukah dia menjama' shalat Jumat dengan Ashar.

f. Prinsip Shalat Jama'

Jumhur ulama sepakat bahwa tidak ada yang salah ketika seorang musafir menarik shalat Ashar ke waktu Dzhuhur untuk dikerjakan dengan cara dijama'. Lepas dari apakah shalat yang dikerjakan itu shalat Dzhuhur atau shalat Jumat.

Sebab prinsip menjama' itu semata-mata hanya memindahkan pelaksanaan suatu shalat dari waktunya ke waktu shalat lainnya, baik sebagai jama' taqdim yang berarti shalat yang kedua dipindahkan waktu pengerjaannya ke waktu pertama, atau pun dengan cara jama' ta'khir yang berarti shalat yang seharusnya dikerjakan di waktu kedua dipindah untuk dikerjakan di waktu shalat yang pertama.

Oleh karena itu, tidak ada yang salah ketika seorang musafir yang mengerjakan shalat Jumat untuk menarik shalat Ashar ke waktu pertama, dan dikerjakan langsung seusai mengerjakan shalat Jumat sebagai jama' taqdim.

Namun mereka yang membolehkan dijama'nya shalat Juamt dan shalat Ashar mensyaratkan hanya bila jama' itu dilakukan dengan cara taqdim, yaitu mengerjakan shalat Jumat di waktu Dzhuhur.

Sedangkan bila yang dilakukan adalah jama' ta'khir, yaitu shalat Jumat itu dikerjakan di waktu Ashar, maka mereka tidak membolehkan.

2. Pendapat Yang Tidak Membolehkan

Sedangkan yang berpendapat bahwa shalat Jumat tidak boleh dijama' dengan shalat Ashar umumnya adalah pendapat di kalangan ulama mazhab Al-Hanabilah.

Pendapat mazhab Al-Hanabilah dalam masalah ini bisa kita temukan tercantum dalam kitab-kitab mazhab tersebut antara lain kitab Kasysyaf Al-Qinna' dan kitab Mathalib Ulin Nuha .

a. Tidak Adanya Nash Yang Membolehkan.

Dalam pandangan mazhab Al-Hanabilah, tidak nash berupa hadits atau atsar yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW atau shahabat pernah melakukan shalat Jumat lalu disambung dengan mengerjakan shalat Ashar dengan cara dimaja' antara keduanya.

Nash yang sampai kepada kita terbatas hanya dibolehkannya jama' antara shalat Dzhuhur dan Ashar atau jama' antara shalat Maghrib dan Isya'. Baik keduanya dilakukan di waktu yang pertama (jama' taqdim) atau pun di waktu yang kedua (jama' ta'khir).

Sehingga tanpa adanya nash yang shahih, dalam prinsip dan pandangan mazhab ini, jama' antara shalat Jumat dan shalat Ashar tidak boleh dilakukan.

b. Tidak Ada Qiyas Dalam Masalah Ritual Ibadah

Yang berkembang dalam mazhab Al-Hanabilah adalah prinsip bahwa qiyas itu tidak berlaku dalam urusan ibadah ritual.

Dan menjama' shalat Jumat dengan shalat Ashar berarti melakukan qiyas antara shalat Jumat dengan shalat Dzhuhur. Maka qiyas itu tidak berlaku dan tidak sah.

c. Shalat Jumat Berbeda Dengan Shalat Dzuhur

Yang juga dijadikan dasar melarang adanya jama' antara shalat Jumat dan shalat Ashar adalah bahwa shalat Jumat bukan shalat Dzhuhur. Keduanya punya banyak perbedaan yang asasi.

Ada banyak hukum yang berlaku dalam shalat Jumat tapi tidak berlaku dalam shalat Dzhuhur. Dan demikian juga sebaliknya, ada banyak hukum yang berlaku pada shalat Dzhuhur yang tidak berlaku pada shalat Jumat.

Oleh karena itu, keduanya tidak bisa disamakan dalam hukum. Dalam pandangan mazhab ini, tidak mentang-mentang shalat Dzhuhur boleh dijama' dengan shalat Ashar, lantas shalat Jumat pun jadi boleh dijama' juga. Sebab keduanya adalah ibadah yang berbeda.

Pendapat Kita?

Seperti biasanya, bila para ulama ahli fiqih berbeda pendapat, kita tentu harus menghormati semua pendapat yang ada. Sebab mereka adalah para ahli di bidangnya. Setidaknya kita hormati keilmuan mereka. Bahwa pendapat kita lebih cenderung pada salah satu dari kedua belah pihak, tentu sikap itu manusiawi juga.

Asalkan kita tidak mencaci maki, menghina atau mencemooh pendapat yang berbeda dengan plihan kita, tentu hal itu hukumnya boleh. Tapi kalau kita merasa paling benar sendiri, lalu semua pendapat orang lain yang tidak kita suka lantas kita teriaki bodoh, jelas ini bukan sikap orang menuntut ilmu.

Wallahu a'lam bishshawab, (Ahmad Sarwat, Lc.,MA/Rumah Fiqih)