[Kenaikan Cukai] Cara Kerja Rezim Jokowi yang Malas, Hanya Bisa Bebani Rakyat


Oleh: Kusfiardi
(Direktur Kajian Ekonomi dan Bisnis Puspol Indonesia)

Pemerintah menargetkan pendapatan cukai dalam RAPBN 2017 sebesar Rp 157,16 triliun atau naik 6,12 persen dari target APBN Perubahan 2016 sebesar Rp 148,09 triliun. Khusus untuk cukai hasil tembakau, ditargetkan sebesar Rp 149,88 triliun atau naik 5,78 persen dari target APBNP 2016 sebesar Rp 141,7 triliun.

Dari target pendapatan cukai total itu, sebanyak Rp 149,87 triliun di antaranya ditopang dari pendapatan cukai hasil tembakau. Adapun sisanya berasal dari cukai etil Alkohol (Rp150 miliar), cukai minuman mengandung etil alkohol (MMEA) (Rp 5,53 triliun), dan pendapatan cukai lainnya (Rp1,6 triliun).

Dalam Nota Keuangan dan RAPBN 2017 dijelaskan, penentuan target pendapatan cukai diarahkan untuk mengendalikan konsumsi barang kena cukai melalui penyesuaian tarif cukai hasil tembakau dan tarif cukai EA-MMEA. Dalam RAPBN tahun 2017 disebutkan juga bahwa langkah ini akan dilanjutkan upaya mengenakan tarif cukai atas barang kena cukai baru yang diperkirakan memiliki negative externality (merugikan orang banyak).

Sekilas rencana pemerintah di atas terkesan positif--melindungi warga negara dari konsumsi yang memiliki efek merugikan orang banyak. Namun, sebelum larut lebih jauh dalam propaganda pemerintah, kita perlu berpikir kritis.

Langkah pemerintah menaikkan penerimaan cukai adalah pilihan yang paling mudah untuk menggalang penerimaan negara. Pemerintah tak perlu melakukan kerja keras, cukup hanya dengan mengeluarkan kebijakan tentang cukai seperti di atas.

Kemudian yang menanggung beban dari target kenaikan penerimaan cukai itu tentu adalah konsumen. Tak lain adalah rakyat Indonesia. Para pengusaha tentu tak terlalu ambil pusing. Bagi mereka, jika bisnis yang berkaitan dengan kenaikan cukai ini dianggap tak lagi menguntungkan, mereka tinggal mengalihkan bisnisnya. Bukan hanya sekadar beralih ke bisnis lain, mereka juga bisa merelokasi usahanya ke negara lain yang kebijakannya lebih menguntungkan.

Kemudian pada saat bersamaan sebagian rakyat Indonesia yang terkait dengan bisnis mereka terpaksa rela menjalani pemutusan hubungan kerja dan menjalani masa sebagai pengangguran. Kelompok ini bukan hanya sekadar menjadi pengangguran tapi juga menurunkan daya beli mereka. Pada saat daya beli menurun dampaknya tentu akan terasa sampai ke kinerja perekonomian nasional seperti pertumbuhan ekonomi. Apalagi selama ini pertumbuhan ekonomi selalu ditopang oleh konsumsi.

Pada titik itu kemudian dampaknya akan meluas. Pengangguran bertambah. Angka kemiskinan meningkat. Bisa jadi tingkat kesenjangan yang sudah lebar saat ini akan semakin melebar. Jika itu terjadi, bangsa ini menjadi rentan dengan masalah sosial-ekonomi. Bisa jadi angka kriminalitas akan meningkat. Bisa juga menimbulkan ekses negatif lainnya yang sangat berdampak pada rasa aman dan kenyamanan di tengah masyarakat.

Sementara itu, akuntabilitas penerimaan cukai juga patut dipertanyakan. Apakah penerimaan cukai itu dilakukan melalui satu mekanisme yang kredibel? Apakah ia terbebas dari praktik moral hazard, kongkalikong pengusaha dan pemerintah? Lebih penting lagi, apakah uang cukai itu akan dipergunakan oleh pemerintah untuk memperkuat sendi-sendi perekonomian nasional dan bisa memberikan dampak bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat?

Melihat tata kelola penerimaan negara oleh pemerintah selama ini, kita patut meragukan bahwa penerimaan cukai dikelola dengan cara yang akuntabel. Dengan begitu kita rasanya patut meragukan bahwa penerimaan cukai itu tidak diwarnai moral hazard dan kongkalikong antara pemerintah dan pengusaha.

Hal paling penting, seluruh penerimaan negara, termasuk penerimaan cukai, seluruhnya dimasukkan dalam keranjang penerimaan. Dari seluruh penerimaan yang terkumpul, pemerintah akan mengalokasikannya sesuai prioritas. Bagi pemerintah, prioritas alokasi tentu saja untuk belanja rutin.

Selain belanja pegawai dan sebagainya, dalam belanja rutin ini terdapat alokasi untuk membayar bunga utang dari pinjaman pemerintah. Baik pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri. Termasuk dipergunakan untuk membayar cicilan pokok utang dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri yang jatuh tempo.

Dengan demikian, penerimaan yang ada tak tersisa banyak. Lalu pemerintah akan melakukan penarikan utang baru melalui pinjaman luar negeri maupun pinjaman dalam negeri untuk menambal kekurangan anggaran guna membiayai pembangunan. Jika tidak mendapatkan pinjaman, maka pemerintah akan menyerahkan pembangunan itu dalam bentuk proyek kepada swasta baik asing maupun domestik.

Padahal, proyek yang dikerjakan oleh swasta itu sangat berkaitan dengan barang publik. Lihat saja seperti jalan tol, pelabuhan maupun pembangkit listrik. Tak mengherankan, swasta asing dan domestik ini menangguk untung yang tak kepalang. Bagaimanapun, kita paham bahwa barang publik itu sangat dibutuhkan. Dalam istilah pemasaran disebut dengan captive market.

Alhasil, kita mendapatkan gambaran bahwa pemerintahan yang malas berpikir dan bekerja ini hanya mencari jalan mudah untuk kolaborasi mereka dengan pemilik modal. Jalan mudah itu dilakukan dengan mengalihkan beban menjadi beban rakyat.

Sulit untuk percaya ada iktikad baik dalam kebijakan pemerintah yang berencana menaikkan penerimaan cukai tahun depan. Walaupun mereka berhasil menemukan rumusan kalimat yang terkesan hendak melindungi rakyat. Padahal, di balik itu ada niat jahat yang tersembunyi, yaitu melanggengkan kekuasaan sembari memberi jalan lapang bagi pemilik modal untuk terus mengakumulasi keuntungan.*

*Sumber: ROL