PUSHAMI: 71 Tahun Indonesia Merdeka, Baru Sekarang Ada yang Protes Adzan, Nanti Ngelunjak


Pusat Hak Asasi Muslim Indonesia (PUSHAMI) menyikapi peristiwa pembakaran Vihara di Tanjung Balai, Sumatera Utara, meminta pemerintah dan aparat harus bertindak bijak dan proporsional.

"Yang harus digaris bawahi pemicunya itu adalah tindakan warga minoritas yang arogan dan tidak toleran serta melanggar aturan dan kesopanan disana. Dia wajib ditindak agar kericuhan tidak terulang lagi dan menyebar di wilayah lain," ujar sekretaris PUSHAMI Aziz Yanuar, SH kepada Suara Islam Online, Selasa (2/8/2016).

Menurutnya, untuk mengatasi konflik horizontal itu kuncinya dengan menegakkan keadilan dan proporsional. "Jika itu tidak dilakukan maka pemerintah sudah menabur benih perpecahan dan kerusuhan yang akan meledak lebih besar lagi suatu hari nanti," jelasnya.

Kata Aziz, selama 71 tahun Indonesia merdeka, tidak pernah ada yang protes adzan berkumandang, baru sekarang ada. "Ini artinya bukan adzan dan speakernya yang jadi masalah, tetapi mereka yang mulai menyerang ajaran Islam," terangnya.

"Dan kalau masalah speaker ini diakomodir maka pasti mereka akan minta diakomodir masalah lainnya seperti misalnya waktu jumatan dibatasi atau hari raya Idul Adha dilarang memotong hewan kurban seperti di Jakarta. Waktu bulan puasa kemarin masalah penutupan warung itu juga bagian dari 'test water' dari mereka yang anti Islam," tambahnya.

Peristiwa kerusuhan yang terjadi di Kota Tanjungbalai, Sumatera Utara, pada Jum’at malam hingga Sabtu  (29-30 Juli 2016) dini hari, dipicu oleh keberatan dari seorang warga Tionghoa bernama Meliana (41 tahun) terhadap suara adzan dari masjid Al-Makshum.

Sekretaris Badan Kemakmuran Masjid (BKM) Al-Makshum, Dailami menuturkan, bahwa sudah sejak lama Meliana melakukan protes terhadap suara yang keluar dari pelantang masjid.

“Terakhir, 5 hari sebelum kerusuhan dia (Meliana, red) menyampaikan keberatannya soal suara dari masjid,” ujarnya kepada hidayatullah.com di Tanjungbalai, Senin (01/08/2016).

Setelah melaksanakan sholat maghrib pada Jum’at (29/07), Dailami bersama seorang pengurus masjid lain bernama Haristua Marpaung memutuskan untuk mendatangi rumah Meliana yang berada persis di depan Masjid Al-Makshum, guna menanyakan ihwal keberatannya tersebut.

Namun, kata Dailami, setelah membuka pintu, Meliana justru menjawab pertanyaan dirinya dan Haristua dengan nada yang dinilai menantang.

“Itu bising kami terganggu. Kau tahu! Pekak telingaku dengar suara dari corong tu, tak tentram aku,” ucapnya dengan logat Medan menirukan Meliana.

Sejurus kemudian, sambungnya, ikut keluar juga dari rumah Meliana, anak laki-laki dan suaminya.

“Anaknya juga menantang. Kalau suaminya dia justru minta maaf,” diakui Dailami.

Ia mengungkapkan, cekcok tersebut cukup mengundang kemarahan jamaah. Bahkan, kata dia, sampai pak Zul (penggilan salah seorang pengurus masjid yang dituakan dan dikenal pendiam) juga ikut kesal dengan perkataan Meliana hingga mengeluarkan kata-kata makian.

Kejadian itu, tambah Dailami, sekaligus menyulut keramaian warga yang juga dikarenakan posisi tempat mereka adu mulut berada tepat di pinggir jalan.

Akhirnya setelah sholat Isya, ia menceritakan, bahwa pihak Kepala Lingkungan (Kepling) memutuskan membawa Meliana beserta suami dan anaknya ke kantor lurah untuk menyelesaikan perkara tersebut.

Disana, papar Dailami, juga hadir pengurus masjid atau BKM, lurah, beberapa polisi dan koramil.

“Tapi rupanya Meliana tetap ngotot tidak mau minta maaf dan meminta masjid berhenti melantangkan suara adzan,” tuturnya.

Akhirnya warga marah dan terjadilah kerusuhan.