[portalpiyungan.com] Arcandra Tahar, menteri ESDM yang dikabarkan memiliki kewarganegaraan AS, kini dinyatakan telah kembali menjadi WNI oleh Menkumham Yasonna Laoly.
Menanggapi hal ini, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD menilai masih ada masalah hukum dalam penetapan status WNI Arcandra Tahar. Peneguhan kembali status kewarganegaraan mantan menteri ESDM itu bisa saja digugat.
"Tidak ada istilah peneguhan di UU. Kalau pernah punya kewarganegaraan Indonesia lalu hilang karena suatu sebab, lalu mau mendapatkan kewarganegaraan lagi caranya hanya dua," kata Mahfud saat berbincang, Sabtu 10 September 2016 malam.
Yang pertama yaitu naturalisasi dengan cara tinggal dahulu di Indonesia selama 5 tahun. Cara kedua adalah penganugerahan dari presiden dengan pertimbangan dari DPR.
"Yang diumumkan Yasonna ini peneguhan. Ini enggak ada, di mana pasalnya?" ucapnya.
Alasan Arcandra yang 'stateless' juga dipertanyakan oleh Mahfud. Menurutnya kondisi stateless terjadi misalnya ketika WN Amerika Serikat melahirkan anak di Indonesia. Seperti diketahui, Amerika Serikat menganut ius soli yaitu kewarganegaraan berdasarkan tempat lahir sementara Indonesia berpegang pada ius sanguinis atau kewarganegaraan berdasarkan garis keturunan. Dengan demikian, anak itu saat lahir tidak memiliki kewarganegaraan.
Jika kasus Arcandra disebut sebagai stateless dan harus diteguhkan kewarganegaraannya, Mahfud berpendapat prinsip itu bisa diterapkan pada pengungsi Rohingya hingga mereka yang kewarganegaraannya dicabut sebagai hukuman. Dia menyimpulkan bahwa masih ada yang janggal di keputusan pemerintah ini.
"Ini masih bermasalah secara hukum. Bisa saja kalau ada orang menggugat ke peradilan PTUN, ini bisa dilakukan gugatan," ungkap Mahfud.
Isu berkembang bahwa peneguhan status WNI Arcandra diteguhkan karena pria yang lama tinggal di Amerika Serikat itu akan menjadi menteri lagi. Menurut Mahfud, hal itu tak masalah asal urusan kewarganegaraan sudah clear.
"Kalau seumpama ketatanegaraannya sudah oke, mau diangkat jadi menteri tidak masalah," imbuh Mahfud.
Di balik kisruh kewarganegaraan Arcandra, sebenarnya ada hal lebih mendasar yang semestinya menjadi pertanyaan kolektif bangsa ini. Mengapa pemerintah ngotot ingin mengembalikan kewarganegaraan Indinesia kepada Arcandra? Sementara Arcandra sendiri lebih nampak sebagai warga internasional yang tak gemar disekat oleh batas-batas hukum sebuah negara.
Dalam arti positif, tak diragukan lagi, seorang akademisi dan pengusaha setaraf Arcandra pasti memiliki pergaulan tingkat dunia yang luas. Kembali ke Indonesia dan mengabdi pada negara dengan pendapatan 'cukup' bukanlah sebuah keputusan biasa.
Yang menarik justru munculnya kengototan dari pihak pemerintah untuk mempertahankan Arcandra sebagai menteri ESDM. Tak tanggung-tanggung, menyimak penuturan Prof. Mahfud di atas, Menkumham sampai perlu 'meneguhkan' Arcandra kembali menjad WNI. Apa sebenarnya yang diingini pemerintah?
Apakah pemerintah menginginkan wajah baru yang mudah dikendalikan dalam memerangi mafia ESDM atau pemerintah sengaja memanas-manasi China dengan menggunakan Arcandra sebagai proxy?
Seperti yang sudah diketahui secara luas, selama ini sektor ESDM dikuasai oleh 'peng-peng' (penguasa-pengusaha) sehingga agak sulit bagi pemerintah untuk memperoleh persentase konsesi dalam bisnis ESDM.
Spekulasi yang beredar menyebutkan kalau Jokowi akan tetap nekad usung Arcandra sebagai menteri ESDM meskipun itu artinya Jokowi harus siap bertarung dengan 'peng-peng' yang kini berada di lingkar terdekatnya.