MENGAJARI TUHAN
by: Balya Nur*
Saya sengaja menyamarkan pemilik akun yang wacananya akan dibahas ini agar kita tetap focus pada substansi, tanpa niat menyerang pribadi. Sebab bisa saja kita akan mencari latar belakang agamanya, profesinya, mazhabnya. Misalnya jika pemilik akun ini non muslim, bisa saja ada yang menyerang agamanya, padahal penganut agama itu belum tentu sepemikiran dengannya. Jika dia muslim, maka bisa saja serangan tertuju pada “mazhabnya”. Begitu juga proifesinya.
Pada Hari Raya Idul Adha kemarin, pemilik akun yang saya samarkan ini menulis status fesbuk seperti ini:
"Dalam menjalani ritual agama apapun, manusia sering kehilangan akal sehat. Hanya dalam hitungan jam, ribuan sapi, kambing, dan hewan kurban lainnya, lenyap tak berbekas, dan besoknya sudah jadi kotoran manusia. Bayangkan, jika tetap dengan niat berkurban, uangnya dikumpulkan, lalu dipakai untuk membangun sekolah, membeli obat-obatan, dan membantu mereka yang sulit secara ekonomi, tentu akan lebih bermanfaat. Sebagai simbol kepatuhan manusia atas perintah Tuhannya, dalam satu komunitas agama, baik di dunia ataupun di sebuah negara, cukup disembelih seekor sapi yang paling gemuk dalam sebuah upacara kurban bersama. Saya kira Tuhan maha apresiasi."
Karena status itu ditulis bertepatan pada Idul Adha, saya kesampingkan “agama apapun”. Diksi yang digunakan, “Ribuan sapi, kambing, dan hewan kurban lainnya” juga menunjukan ditujukan kepada ritual agama Islam. Pernahkah pemotongan hewan untuk sesembahan pada agama lain disebut hewan qurban?
Ibadah dalam Islam dibagi dalam dua cara. Ibadah Mahdhoh, dan Ghoiru Mahdhoh. Ibadah mahdhoh adalah ibadah yang sayarat dan rukunnya sudah baku, sedangkan ghoiru (selain) mahdhoh sebaliknya. Misalnya, tata cara sholat sebagai ibadah mahdhoh tidak boleh dirubah sesuka hati, atau sholat jumat tdak boleh dibagi dalam 2 shift, apalagi menggantinya pada hari lain.
Sebagai ibadah mahdhoh, maka ibadah Qurban juga punya syarat yang sudah baku, termasuk hewan qurbannya yang secara fisik harus memenuhi syarat tertentu. Termasuk di dalamnya domba yang dikonversi menjadi sapi atau onta.
Kalau ada ibadah mahdhoh yang barangnya dikonversi dengan barang lain sesuai kebetuhan masyarakat setempat, itu adalah hasil ijtihad para ulama dengan kepakarannya. Misalnya zakat fitrah yang awalnya berupa gandum dikonversi dengan beras. Karena pada intinya adalah bahan makanan pokok yang dimakan oleh penduduk setempat. Kalau dikonversi dengan uang memang terdapat silang pendapat, tapi kalau mengacu pada "semua muslim berhak mendapatkan kegembiraan pada hari raya idul fitri", maka kondisi lebaran di Indonesia yang kegembiraan itu bukan hanya memenuhi kebutuhan makan saja, maka uang bisa menjadi alternatif. Wallahu a’lam.
Kita kembali ke soal status yang mewacanakan ibadah Qurban bisa diganti dengan santunan sosial “uangnya dikumpulkan, lalu dipakai untuk membangun sekolah, membeli obat-obatan, dan membantu mereka yang sulit secara ekonomi, tentu akan lebih bermanfaat.” Sama saja dengan mengajari Tuhan. Menganggap Tuhan sudah salah memasukan ibadah Qurban sebagai ibadah mahdhoh.
Ibadah Qurban memang punya dimensi sosial, tapi ibadah yang khusus sosial sudah terdapat dalam salah satu Rukun Islam yang lima, yakni Zakat. Kalau ibadah Qurban adalah sunah muakadah (sunah yang sangat dianjurkan) maka Zakat ada yang wajib dan ada yang sunah. Zakat mal dan zakat fitrah hukumnya wajib, perintahnya jelas, “khudz! “ ambillah! Suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, ikhlas atau tidak ikhlas, amil atau ulil amri wajib mengambil zakat mal dan fitrah pada setiap muslim. Beda dengan infaq atau shodaqoh yang hanya bisa dilaksanakan jika yang bersangkutan rela menyumbangkan hartanya.
Jadi, soal santunan sosial dalam ajaran Islam nggak usah dijarin lagi dengan mengubah ibadah Qurban menjadi ibadah Zakat. Santuan sosial telah ditempatkan pada tempat yang sangat tinggi, dalam salah satu rukun Islam.
Lagipula kalau “mengajari” Tuhan, disamping durhaka juga akan bikin malu diri sendiri. Saya ambil satu contoh. Dulu salah satu parpol yang bernafaskan Islam dalam salah satu kampanye akbar memisahkan tempat untuk pria dan wanita. Wah, para aktifis HAM berteriak menolak serempak, menganggapnya sebagai diskriminasi. Tapi setelah berjalannya waktu, banyak terjadi pelecehan wanita di tempat umum wabilkhusus di kendaraan umum. Maka orang-orang yang dulu berteriak diskriminasi itu malah paling lantang meneriakan perlunya tempat khusus untuk wanita. Seperti yang kita lihat sekarang. Ada kereta khusus untuk wanita, dan di halte trans Jakarta ada antrian khusus wanita, entah sekarang masih ada atau tidak.
Kalau malu bertanya sesat di jalan, maka mengajari “Tuhan” bisa sesat jalan. Itu!
___
*sumber: http://ift.tt/2cBIOAt