"TAWAJJUH"
Oleh: KH. Hilmi Aminuddin
Ada seorang Al Akh akan pergi haji, meminta nasehat lebih dulu kepada saya. Saya katakan kepadanya haji itu merupakan bagian dari ibadah lainnya yang kesemuanya dalam rangka “Fa-aqim wajhaka liddieni hanifa”.
Seluruh Ibadah kita sangat tergantung kepada tawajjuh (orientasi) kita terhadap dien secara lurus, hanif. Pertama-tama tentu saja kita harus memiliki tawajjuh aqidi dalam setiap ibadah kita, orientasi aqidah atau menghadapnya kita secara aqidi.
Dalam ibadah haji direflesikan dalam kalimat "labbaika Allahumma labbaik, labbaika la syarika laka labbaik". Kita menolak segala sambutan terhadap panggilan selain Allah, dan bila harus menyambut panggilan yang lain, misalnya istri atau anak, tetaplah dalam kerangka menyambut panggilan Allah atau dengan kata lain lillah, karena Allah. Karena kita sudah menegaskan; Labbaika laa syarika laka labbaik, innal hamda wanni’mata laka wal mulk laa syarika lak, aku sambut panggilanMU ya Allah tak ada sekutu bagiMu sesungguhnya segala puji, kenikmatan dan kekuasaan ada di tanganMu. Tak ada sekutu bagiMu.
Setelah tawajjuh aqidi, tawajjuh atau orientasi yang kedua adalah tawajjuh syar’i. Dalam beribadah kita harus memperhatikan orientasi syar’i, ini karena Allah bukan saja menurunkan mabda’ (prinsip dasar) melainkan juga menurunkan syir’atan wa minhajan, dan dalam melangkah atau beribadah, kita harus melalui koridor tersebut.
Misalnya dalam haji, khudzuu ‘anni manasikakum—ambilah / contohlah dariku manasik haji kalian, dan dalam shalat, shallu kama roaitumuni ushalli—shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat. Sejalan dengan itu tentunya juga terefleksi dalam hal jihad atau bisa diparalelkan, jaahidu kama roaitumuni ujaahid.
Tawajjuh yang ketiga adalah tawajjuh amali (orientasi operasional). Artinya kita harus “wa’aiddu lahum mastatho’tum minquwwah”, segala potensi secara operasional harus dihimpun dan digabung secara syumul (integral) dan takamul (terpadu) agar bisa merealisir tugas-tugas dan kewajiban-kewajiban dari Allah. Karena segala tugas dan kewajiban dari Allah tidak bisa kita persiapkan secara juz’iyah (parsial). Misalnya untuk sholat kita harus lebih dulu wudhu, dan untuk wudhu tentu saja harus ada air. Kemudian untuk Sholat harus syatrul aurat (menutup aurat), jadi harus ada baju dan mukena. Lalu agar dengkul kita bisa tegak dan kuat berdiri ketika sholat, kita butuh makan lebih dulu. Jadi ada kesyumuliyahan dalam adaa’ish shalah (pelaksanaan shalat).
Ketiga tawajjuh tersebut yakni tawajjuh aqidi, syar’i dan amali harus selalu ada terhimpun secara sekaligus di setiap ibadah yang kita lakukan.
Yang jelas kita harus senantiasa mempersiapkan segala sarana dan prasarana serta potensi agar tugas-tugas dari Allah swt dapat kita kerjakan secara baik, karena Allah telah menyuruh kita mengerahkan segenap potensi dan kekuatan “Waa’iddu lahum mastatho’tum minquwwah” (QS 8:60) di sinilah letak ke-syumuliyah-an dan ke-takamuliyah-annya.[]