Ayo Bangkit Pak Jokowi!



Oleh Fithra Faisal Hastiadi*
Manajer Riset dan Pengabdian Masyarakat FEUI

Kegaduhan politik yang terus berlansung sepertinya belum akan menemui ujung. Bak teras berundak, belum selesai permasalahan yang satu, muncul pula permasalahan yang lain. Blunder Penunjukan BG di-ikuti penangkapan paksa BW dan episode-episode anyar yang terus mengikuti. Tumpuk-menumpuk, tindih-menindih hingga tak jelas ujung pangkalnya. Pelbagai permasalahan ini tentunya menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Jokowi yang belum sampai seumur jagung.

Empati saya terus membuncah kepada Presiden pilihan rakyat ini, namun episode kisruh dan galau yang kini terus menghantui republik, tidak bisa tidak berhulu pada kontrol Jokowi yang lemah terhadap pemerintahan. Dulu SBY memang pernah mengalami kejadian serupa dimana dengan koalisi gemuknya, pemerintah seakan tak lugas dalam menjalankan kebijakannya karena terus terpenjara oleh koalisi besar yang terus merongrong. Namun, permasalahan yang dialami Jokowi jauh lebih pelik dimana partai pendukung pemerintah telah menuju skema oligopolistik yang kental nan merusak.

Output dari skema yang demikian setidaknya bisa kita lihat diawal penyusunan menteri dalam kabinet yang tentunya jauh dari ideal. Bahkan seorang Edward Aspinall, seorang indonesianis dari Australian National University (ANU), turut mengutuki selera Jokowi dalam memilih pembantunya. Puncak emosi Aspinall ditandai dengan satu kalimat singkat namun sarat makna:

“More appointments are surprisingly bad than are surprisingly good”.

Pilihan Jokowi terhadap susunan pembantunya baik di level kementerian maupun di jajaran watimpres, diyakini merupakan produk dominasi dari kartel Partai di pemerintahan yang didominasi oleh PDIP dan NASDEM. Publik pun disuguhi jajaran politisi yang tidak jelas track recordnya. Informasinya pun menjadi asimetris, dimana publik dicoba untuk diyakinkan dengan pencitraan superfisial belaka yang ditandai dengan gebrakan-gebrakan konyol yang jauh dari substansi.

Memang tidak semua menteri berkinerja buruk, beberapa diantaranya yang masuk dalam jajaran tim ekonomi bahkan berkinerja cukup baik.  Namun meminjam hukum Gresham, “bad money drives out the good” ;”bad minister drives out the good”.

Dalam artikelnya The Market for Lemons: Quality Uncertainty and Market Mechanism, George Akerlof (1970) menyoroti sebuah keadaan pada pasar mobil bekas dimana konsumen dihadapkan pada dua kemungkinan: mendapatkan mobil bekas dengan kualitas bagus (q) atau buruk (1-q) (di amerika mobil berkualitas buruk dikenal sebagai lemons). Idealnya informasi yang didapat adalah simetris, baik pembeli maupun penjual mengetahui kualitas barang yang diperdagangkan, namun pada kenyataannya informasi simetris terlalu mewah didunia nyata, semewah elenchus yang membuat socrates meregang nyawa, semewah wangi eucalyptus yang mewarnai Olimpus.

Dengan informasi yang tidak simetris antara penjual dan pembeli, strategi dominan bagi penjual adalah cenderung menutupi buruknya kualitas mobil. Hal ini dilakukan dengan melakukan pencitraan berlebihan demi menarik hati para pembeli yang lugu. Rayuan para penjual bak lidah terus menari membuat silau hati, yang daya pikatnya setara dengan hijaunya bukit Nepheli di tanah Thesaloniki.

Masih menurut Akerlof, pencitraan berlebihan dari para penjual mobil itu adalah tanda dari buruknya kualitas barang. Logikanya, mobil dengan kualitas bagus tak perlu pencitraan bukan? Mutiara akan tetap menjadi mutiara walau ditengah lumpur.

Celakanya, konsumen hanya akan dapat menilai baik buruknya mobil hanya setelah mobil itu dibeli dan dipakai. Dengan analogi yang sama, publik hanya dapat menilai baik atau buruknya kualitas pemerintahan hanya setelah pemerintahan itu berjalan. Ternyata produk yang kita yakini bagus diawal, dirongrong oleh mesin yang aus, sebagaimana yang kita lihat dalam pemerintahan yang baru seumur jagung ini. Formalitas reductio absurdum yang dipakai oleh pemerintah dalam meyakinkan publik tentunya hanya akan berpotensi meruntuhkan kepercayaan di masa depan.

Dengan melihat fenomena ini, tentunya pemerintah harus secepatnya mengembalikan kepercayaan publik yang semakin tergerus. Bagaimana caranya? Ganti para pejabat yang meresahkan dan hanya bermodal pencitraan! Segera lakukan reformasi institusi!

Acemoglu dan Robinson (2013) dalam bukunya “Why Nations Fail” menelanjangi akar kegagalan sebuah negara. Dalam penelusuran lintas zaman dan kawasan yang mereka lakukan, didapati sebuah kesimpulan bahwa untuk mentransformasi sebuah negara dari keadaan terbelakang menjadi maju dibutuhkan transformasi politik institusional. Politik dengan institusinya mencakup kekuasaan dan kapasitas negara untuk mengatur dan mengendalikan masyarakat. Jelas jika kita melihatnya sekarang, pemerintah Indonesia telah gagal.

Prinsip dibalik penyusunan kerangka kerja pemerintah yang baik adalah kredibilitas. Dengan adanya kredibilitas, maka akan lebih mudah mengatasi gejolak dengan instrumen kebijakan yang diberlakukan oleh otoritas. Kredibilitas juga akan menjadi lebih baik ketika terdapat kerangka kerja yang transparan dan akuntabel, yang pada akhirnya dapat memperkuat legitimasi politik.

Pembuat kebijakan yang kredibel adalah pembuat kebijakan yang dalam membuat kebijakannya memperhatikan faktor transparansi kebijakan. Dengan tingginya tingkat transparansi kebijakan, maka gejolak yang terjadi akan dengan mudah ditanggulangi. Jadi rebutlah kembali simpati! Enyahkan Politisi Oportunis!

*sumber: https://www.selasar.com/politik/ayo-bangkit-pak-jokowi